Sabtu, 22 Desember 2012

krui dan perbincangan tentang khepong damarnya


     repong damar
  • BAHAN 2:
    Repong Damar:
    Kajian tentang Pengambilan Keputusan Dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat
    Oleh  Zulkifli Lubis
    (Working Paper No 20, Desember 1997- CIFOR).

    Ringkasan
    Proses pengelolaan hutan di pesisir Krui, Lampung Barat, biasanya terdiri dari tiga tahapan, yaitu dimulai dari ladang, kebun dan berakhir dengan repong damar. Kajian ini menunjukkan peranan faktor-faktor ekonomi, ekologi, dan sosial budaya dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan para petani Krui dalam konteks pengelolaan lahan hutan. Kesinambungan pengelolaan hutan secara lestari dengan sistem repong damar (damar agroforest) tergantung kepada respon petani Krui terhadap dinamika hubungan antara empat faktor tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

    PENDAHULUAN
    Kerusakan lingkungan hidup adalah satu dari tiga krisis global2 yang dihadapi umat manusia dewasa ini, dan penciutan kawasan hutan merupakan salah satu wujudnya.3) Proses deforestasi dan kerusakan lingkungan itu membawa dampak negatif pada keseimbangan ekologi dan iklim bumi, dan juga mengakibatkan komunitas lokal yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan harus menempati posisi marjinal.
    Namun satu fenomena menarik yang muncul menjelang akhir abad ini adalah mulai berkembangnya kesadaran, refleksi kritis dan peralihan paradigma dikalangan ilmuwan dan pembuat kebijakan dalam merespon dan memahami arti penting keberadaan hutan. Kini kelestarian hutan bukan hanya dilihat sebagai kondisi yang niscaya bagi keselamatan bumi manusia, akan tetapi juga sudah dikaitkan dengan soal hak hidup dan harkat kemanusiaan penduduk yang teritori dan tradisi sosio-ekonominya bergantung kepada keberadaan hutan. Beberapa tahun terakhir ini telah berkembang pemikiran tentang pentingnya memperkuat posisi komunitas lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya (Korten 1987), yang dalam konteks kehutanan kemudian diwujudkan lewat program-program perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan (Vergara 1983; Rao 1984; Cernea 1988; Poffenberger 1990).
    Berbagai publikasi yang ada bahkan telah menunjukkan kesalahan-kesalahan asumsi masa lalu yang memandang sepele kemampuan penduduk lokal dalam mengelola sumber daya hutan secara baik dan berkelanjutan. Kajian mereka mengungkapkan bahwa komunitas lokal sebenarnya memiliki dan mampu mengembangkan institusi-institusi yang kondusif bagi pengelolaan sumber daya berkelanjutan: ajeg secara ekologis, ekonomis maupun sosial budaya.
    Pengelolaan repong damar di daerah pesisir Krui Lampung Barat, Propinsi Lampung, adalah satu contoh pengelolaan lahan hutan yang telah banyak dan masih terus mendapat perhatian para peneliti. Tulisan ini akan mengulas segi lain dari pengelolaan repong damar di Krui, yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian peneliti, yaitu aspek pengambilan keputusan dalam konteks pengelolaan lahan hutan. Fokus kajian adalah mengungkapkan pengaruh-pengaruh yang mendasari keputusan petani damar Krui untuk mempertahankan atau mengkonversi repong damar. Dengan pengungkapan pengaruh-pengaruh tersebut akan terjawab dua pertanyaan pokok, yaitu (1) mengapa penduduk di daerah pesisir Krui memilih dan tetap mempertahankan repong damar sebagai bentuk pemanfaatan lahan hutan; dan (2) mengapa mereka mengkonversi damar ke cengkeh  pada era 1970-an.
    Temuan lapangan mengenai pengaruh-pengaruh yang mendasari keputusan petani dalam mengelola lahan hutan menjadi ladang, kebun, repong damar atau bentuk pengelolan lain penting untuk memahami dinamika pengelolaan lahan hutan. Informasi itu juga penting untuk memperkirakan kecenderungan perubahan yang mungkin terjadi di masa depan sebagai respon petani terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari dalam maupun dari luar komunitas pengguna hutan.


    Pendekatan
    Kajian tentang proses pengambilan keputusan, termasuk dalam konteks pertanian, biasanya berorientasi pada analisa pelaku (actor-oriented analysis) dengan menekankan keberagaman perilaku didalam suatu konteks institusi, kebiasaan dan kondisi-kondisi lokal (Barlett 1980:8). Kajian demikian bisa dikategorikan sebagai pendekatan prosesual (Orlove 1980:246), yang dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu (1) model kognitif atau naturalistik, (2) model mikroekonomik. Model kognitif berusaha melukiskan proses-proses psikologis yang aktual dalam pengambilan keputusan dengan menempatkan sejumlah alternatif dan prosedur untuk memilihnya; sedangkan model mikroekonomik menganilisis pengambilan keputusan dengan menggunakan perangkat analisis mikro ekonomik. Dalam kajian ini pendekatan yang bernuansa kognitif digunakan untuk menjelaskan bagaimana petani damar mengkonsepsikan pilihan dan harapan mereka berkaitan dengan strategi pertaniannya, dan bagaimana mereka memanfaatkan konsepsi atau pengetahuan itu dalam menentukan pilihan dan memanfaatkan peluang dalam pengelolaan lahan hutan. Argumentasi mengenai hal itu diperkuat dengan menampilkan data-data empirik mengenai aspek ekonomi dari kasus-kasus pengelolaan lahan yang dilakukan petani Krui.
    Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam konteks pengelolaan lahan hutan, terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi, akan senantiasa disesuaikan dengan dan dipengaruhi oleh kebutuhan para anggota sebuah rumah tangga.5) Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, survey partisipatoris dan pemanfaatan sumber-sumber sekunder. Kerja lapangan dilakukan selama empat bulan (akhir Juli-Nopember 1995).
    Wawancara dilakukan terhadap sejumlah informan dan kepala rumah tangga di dua desa lokasi penelitian. Kemudian 12 rumah tangga di antaranya dipilih secara purposive (berdasarkan perbedaan tingkat sosial ekonomi) untuk pendalaman kasus pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan dan strategi mata pencaharian hidup mereka pada umumnya. Pengumpulan data untuk kasus rumah tangga sampel dilakukan setiap dua minggu selama dua bulan. Data yang  diperoleh dalam tempo sesingkat itu sebenarnya belum memadai untuk kepentingan analisis, karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa variabel musim dan kalender aktivitas pertanian penduduk setempat sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan ekonomi rumah tangga.
    Akumulasi penguasaan harta pusaka pada anak lelaki sulung sesuai adat pewarisan Krui, menyebabkan ekonomi rumah tangga para sai tuha bakas ini umumnya relatif lebih mapan dan kuat dibandingkan dengan adik-adik mereka. Posisi yang elitis sesuai adat itu mendorong adik-adik mereka untuk membangun ekonomi rumah tangganya dengan daya kekuatan mereka sendiri, sehingga gerak ekspansi pembukaan lahan baru biasanya dimotori oleh kalangan ini.
    Alternatif lain bagi mereka adalah memasuki dunia dagang, yaitu menjadi pedagang pengumpul di tingkat desa. Hal yang cukup menarik, akumulasi keuntungan dagang yang mereka peroleh biasanya diinvestasikan untuk membeli atau menerima gadaian lahan repong damar. Dalam konteks yang demikian, peranan repong damar bukan lagi sekedar sebuah unit produktif yang menyangga kebutuhan ekonomi rumah tangga, melainkan juga menjadi atribut yang mengukuhkan status sosial keluarga itu di tengah komunitasnya.

    PENGARUH-PENGARUH YANG MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN
    Dari analisis terhadap data-data lapangan, baik melalui wawancara secara umum dan analisis terhadap kasus-kasus pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga, secara garis besar ditemukan paling sedikit ada empat jenis pengaruh yang mendasari keputusan petani Krui dalam pengelolaan lahan hutan. Keempat jenis pengaruh itu adalah (1) pengaruh ekonomis, (2) pengaruh ekologis, (3) pengaruh sosial, dan (4) pengaruh kultural. Pengaruh ekonomis mencakup rangsangan yang hadir dalam wujud variabel-variabel ekonomi, seperti fluktuasi harga, akses pasar, modal (material, tenaga kerja dan waktu), dan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Pengaruh ekologis meliputi kualitas tanah, topografi lahan, dan perilaku tanaman. Pengaruh sosial meliputi status sosial dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh kultural mencakup pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan.

    Pengaruh Ekonomis
    Alasan pertama yang mendorong seseorang memutuskan untuk pergi membuka hutan tidak lain adalah pengaruh ekonomi. Di atas telah disebutkan berbagai keuntungan ekonomis yang akan diperoleh petani dalam seluruh rangkaian aktivitas pengelolaan lahan hutan. Jenis pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan lahan hutan sangat beragam misalnya dalam bentuk hasil pangan, uang tunai dalam jangka pendek maupun jangka panjang, pendapatan rutin dari getah damar, pendapatan berkala dari hasil buah-buahan, dan juga pemanfaatan hasil hutan ikutan yang bisa menghasilkan uang tunai maupun dalam bentuk natura.
    Kesinambungan hasil yang bisa dimanfaatkan sepanjang tahap-tahap pengelolaan lahan hutan itu menjadi pengaruh bagi petani Krui untuk tetap mempertahankan model pengelolaan repong damar.
    Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan di lahan darak, kebun dan repong didasari oleh pengaruh ekonomi. Sebagian di antaranya hanya sebatas kebutuhan subsistensi, khususunya pada fase ladang; tapi sebagian lainnya didasari oleh adanya permintaan pasar. Komersialisasi beberapa jenis tanaman palawija jelas dirangsang oleh akses ke pasar yang semakin mudah. Dalam kasus dimana lokasi lahan petani jauh dari pasar, atau transportasi masih menjadi kendala, petani menanam tanaman palawija dengan orientasi yang sepenuhnya subsisten.
    Tapi dalam kasus dimana akses ke pasar cukup mudah, petani mulai menggunakan faktor komersial sebagai dasar pengambilan keutusan. Petani di desa Malaya yang baru lepas dari isolasi perhubungan darat sejak 10 tahun lalu menggunakan istilah Ònaik timbangan Ó untuk menggambarkan adanya beberapa produk pertanian yang sudah bernilai komersial bagi mereka. Tabel di bawah ini menyajikan gambaran variasi jenis dan jumlah tanaman tua yang dibudidayakan oleh tujuh keluarga petani asal Penengahan di tiga atar di daerah Pugung (Kec. Pesisir Utara), yaitu di atar Rata Agung, Way Gedau dan Way Simpanng Lunik.


    Tapi harus segera diingat bahwa faktor permintaan pasar itu bukan hal yang baru bagi petani Krui. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada fase kebun, mereka sepenuhnya menggunakan pertimbangan akses pasar sebagai hal pokok. Fluktuasi harga yang tajam mempengaruhi petani dalam memutuskan jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Kasus melonjaknya harga cengkeh pada tahun 1970-an mendorong petani untuk berlomba-lomba menanam cengkeh, dan ketika harga cengkeh merosot tajam mereka segera pula mengeliminasi cengkeh dari pilihannya.
    Hal yang agak berbeda terjadi dalam pengambilan keputusan untuk memilih jenis tanaman tua pada fase repong. Di sini pertimbangan pokok bukanlah harga komoditi tanaman repong pada saat ini, melainkan kontribusi rutin atau berkala yang bisa diberikannya dalam jangka panjang. Naik atau tidak harga jual getah damar misalnya tidak menjadi alasan penting bagi mereka untuk menunda penanaman damar. Dalam kasus maraknya penanaman cengkeh pada tahun 1970- an memang banyak petani yang menunda penanaman damar. Tapi hal itu terutama bukan disebabkan oleh faktor harga, melainkan didorong oleh karakteristik botanis tanaman cengkeh yang tidak menghendaki adanya tegakan rimbun lain yang menghalangi penyinaran. Argumentasi ini diperkuat oleh fakta bahwa mereka juga tidak menanam tanaman tua lainnya seperti duku, durian maupun petai dan jengkol bersamaan dengan tanaman cengkeh.

    Pengaruh Ekologis
    Hal kedua yang mendasari keputuan petani Krui dalam mengelola lahan hutan adalah pengaruh ekologis. Pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai karakteristik ekologis daerah Krui sangat menentukan dalam membuat keputusan untuk mengelola lahan hutan dengan sistem repong. Penilaian terhadap keadaan tanah dan iklim menjadi acuan bagi petani dalam menentukan jenis tanaman apa yang akan dibudidayakan. Jika keadaan tanah dan iklim di suatu lokasi lahan dinilai tidak sesuai untuk jenis tanaman tertentu mereka akan mengeliminasi jenis tanaman tersebut dari alternatif jenis tanaman yang akan dipilih. Beberapa kasus pengambilan keputusan yang dikaji menunjukkan bahwa petani asal Penengahan yang membuka lahan di daerah Liwa mengeliminasi tanaman lada dan damar karena mereka berpendapat bahwa kondisi tanah dan iklim di daerah itu tidak sesuai untuk tanaman tersebut. Tapi harus dipahami bahwa selalu ada variasi individual dalam pengambilan keputusan meskipun pengetahuan mereka mengenai karakteristik ekologis relatif sama.
    Pengetahuan petani Penengahan dan Malaya mengenai karakteristik botanis tanaman kebun khususnya kopi dan lada, membawa implikasi yang berbeda bagi keputusan mereka dalam memilih jenis tanaman kebun. Pengetahuan mereka mengenai aspek pemeliharaan, masa siap panen, dan produktivitas tanaman lada dan kopi pada prinsipnya sama, tapi tidak sekaligus menjadi patokan bagi mereka untuk membuat pilihan yang sama. Petani Penengahan lebih mengutamakan tanaman kopi daripada lada, sementara petani Malaya lebih mengutamakan lada.
    Faktor ekologis dan karakteristik botanis tanaman selalu dikaitkan petani dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Dalam kaitan ini terdapat variasi antara petani Penengahan dan Malaya khususnya ketika mereka harus menentukan prioritas pilihan antara tanaman lada dan kopi. Petani Penengahan memandang sangat tidak ekonomis untuk mengutamakan tanaman lada, karena akan membuang banyak waktu menunggu hasil panen. Sebaliknya petani Malaya berpendapat bahwa menginvestasikan tenaga, waktu dan modal yang cukup besar untuk mengurus kopi tidak memberikan keuntungan yang jauh lebih besar, karena harga jual kopi dan lada selalu berimbang; sedangkan hasil per batang tanaman lada lebih banyak daripada kopi dan usia produktif tanaman lada lebih panjang daripada kopi.

    Pengetahuan petani mengenai sifat-sifat tanaman juga sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan memilih jenis tanaman. Sebagai contoh, para informan mengatakan bahwa tanaman padi dan palawija yang ditanaman pada fase ladang tidak bias ditanam secara berbaur. Dalam praktiknya petani biasanya membagi lahan ladangnya atas dua bagian, sebagian untuk ditanami padi dan sebagian lagi untuk palawija. Demikian pula pada fase kebun, para petani berpendapat bahwa jenis tanaman yang bisa ditanam bersamaan hanya sedikit, karena karakteristik fase kebun adalah kecenderungan monokultur. Seperti telah disebutkan, ada tiga jenis tanaman kebun yang popular bagi orang Krui yaitu kopi, lada dan cengkeh. Kopi dan lada bisa dikombinasikan tapi salah satu harus ditanam dalam jumlah lebih sedikit; sedangkan cengkeh biasanya ditanggapi sebagai tanaman yang kurang toleran dengan kehadiran tanaman-tanaman lain di lahan yang sama. Berbeda dengan fase kebun, faktor toleransi tanaman tidak menjadi pertimbangan yang penting bagi petani dalam menentukan pilihan kombinasi jenis tanaman untuk ditanam pada fase repong damar. Hal itu berkaitan dengan pemahaman mereka bahwa repong adalah kebun campuran yang bisa ditumbuhi beranekaragam jenis tanaman sekaligus.



    Pengaruh Sosial
    Pengaruh ketiga yang mendasari keputusan petani Krui dalam mengelola lahan hutan dengan sistem repong damar adalah pengaruh sosial. Membuka hutan merupakan inisiatif dan keputusan seorang individu. Tapi mengapa dan untuk apa ia pergi membuka hutan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial dimana ia hidup. Kemudian, beban kerja yang harus dipikul dalam seluruh tahapan pembukaan lahan hutan biasanya akan menjadi lebih ringan karena adanya bantuan dari orang lain di lingkungan sosialnya, baik anggota keluarganya sendiri, kerabat dan tetangga satu atar. Orang Krui mengenal tradisi pengerahan tenaga kerja yang disebut ketulungan dan bebelinan. Yang pertama identik dengan gotong royong berdasarkan sukarela dan tanpa imbalan; sedangkan yang kedua sama dengan arisan tenaga. Tradisi demikian masih berlaku dalam pembukaan lahan hutan di daerah Krui hingga sekarang. Dengan demikian seseorang yang pergi membuka hutan tidak akan merasa sendirian karena orang-orang yang ada di sana akan membentuk sebuah komunitas non-permanen yang anggotanya biasanya terdiri dari para petani yang berada di satu atar.
    Selain itu faktor dukungan orang tua sangat besar peranannya dalam pengambilan keputusan untuk pergi membuka hutan. Seseorang yang pergi membuka hutan ketika masih bujangan atau baru berumah tangga biasanya mendapat bimbingan dari orang tuanya.
    Proses duplikasi sistem pengelolaan yang bermula dari ladang, kebun hingga repong damar biasanya berlangsung dengan kehadiran aktor dari dua generasi sekaligus, yaitu orang tua (generasi pertama) dan anak laki-laki (generasi kedua). Ketika aktor generasi kedua ini sudah berangkat tua, ia akan membimbing anak-anaknya lagi (generasi ketiga) membuka hutan seperti yang ia terima dari orang tuanya. Demikian seterusnya ke generasi-generasi berikutnya. Keterlibatan orang tua di dalam proses tersebut akan menentukan terhadap bentuk pengelolan lahan.
    Hal lain yang berkaitan dengan pengaruh social untuk mengelola lahan hutan dengan sistem repong damar adalah terbukanya peluang bagi seseorang atau sebuah keluarga untuk naik kelas sosial di lingkunngan komunitas desanya. Aturan adat pewarisan orang Krui menentukan bahwa harta pusaka akan diwariskan kepada anak lelaki sulung dalam satu keluarga. Hal ini mengakibatkan anak lelaki yang lahir kemudian tidak akan mendapatkan porsi yang memadai dari harta warisan peninggalan orang tuanya. Dari penelusuran data kepemilikan lahan repong di Penengahan dan Malaya terkuak fakta bahwa sekitar dua-pertiga bidang repong damar yang berusia tua di kedua desa berada di bawah penguasaan anak lelaki sulung. Menumpuknya sumberdaya di tangan seseorang sudah tentu membawa implikasi pada munculnya sikap elitis yang akan menempatkan seseorang tersebut dalam posisi yang lebih tinggi pada jenjang struktur sosial. Pada gilirannya, pemilikan repong damar menjadi simbol status sosial. Keadaan ini menjadi pengaruh bagi orang yang belum punya repong damar untuk memutuskan pergi membuka hutan. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa hasil uang tunai yang mereka peroleh pada fase kebun banyak dimanfaatkan oleh para anak singura (anak-anak lelaki yang bukan anak sulung) itu untuk menerima gadaian atau membeli repong damar, sehingga dengan penguasaan terhadap repong damar tersebut bisa menyetarakan kedudukan mereka dengan orang-orang yang mendapatkan repong damar dari warisan.

    Pengaruh Kultural
    Petani Krui menempatkan fase-fase pengelolaan lahan hutan mulai dari ladang, kebun, hingga repong damar pada tataran yang berbeda. Ladang ditanggapi sebagai fase yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Pemilihan jenis tanaman pada fase ladang seperti telah dikemukakan di atas didasarkan pada kepentingan subsistensi, bukan komersial. Ladang diposisikan sebagai pendukung bagi fase kebun. Fase kebun ditanggapi sebagai fase batin kejutan/kaya kejutan. Artinya, tanaman yang dibudidayakan di kebun bisa memberikan efek kejutan kepada pemiliknya jika ia sampai pada tahap pencapaian yang disebut merawan.
    Dengan hasil kebun seseorang bisa mewujudkan banyak hal yang bersifat monumental dalam kehidupannya, misalnya membangun rumah, menerima gadaian atau membeli sawah dan repong damar, modal untuk berdagang, naik haji, membiayai pendidikan anak, dan lain sebagainya. Petani Krui memilih untuk mengakhiri fase ladang dan memulai fase kebun karena mengharapkan perolehan hasil yang lebih banyak dari lahan yang sama.
    Dari semua informan yang diwawancarai tak seorang pun yang memilih untuk berhenti mengelola lahan sampai pada fase ladang saja, karena dari awal mereka sudah memasang niat untuk berkebun. Ketika mereka memutuskan untuk meneruskan pengelolaan lahan ke fase repong, pertimbangannya bukan hanya menyangkut faktor keterbatasan alamiah tanaman kebun yang tidak bisa melampaui usia produktif di atas 15 tahun, akan tetapi juga didasari oleh alasan-alasan yang bersifat kultural. Bagi petani Krui, membangun repong damar juga merupakan perwujudan amanah mereka untuk mewariskan sesuatu yang bermanfaat secara kongkrit bagi keturunannya. Mereka ingin menduplikasi apa yang telah diterimanya dari orang tua.
    Sejauh fakta yang bisa ditemukan di lapangan, tahapan pengelolaan lahan hutan selalu diakhiri dengan membangun repong damar. Artinya, pengetahuan mereka mengenai tahapan-tahapan pengelolaan hutan dijadikan sebagai acuan dalam tindakan pengelolaan lahan hutan. Tapi hal itu bukanlah suatu keadaan yang  tanpa gangguan. Paling tidak pengalaman mereka pada tahun 1970-an mencuatkan fakta bahwa sebagian petani justru menghentikan pengelolaan lahan pertaniannya sampai pada fase kebun dan tidak dilanjutkan ke fase repong. Namun ketika tanaman cengkeh mereka musnah diserang hama pada tahun 1980-an sehingga mengguncang ekonomi rumah tangga mereka, maka pengalaman pahit itu mendorong mereka untuk bersikap konservatif hingga sekarang. Era 1990-an ketika penelitian ini dilakukan, petani Krui telah kembali ke format awal model pengelolaan lahan hutan, yaitu mulai dari ladang, kebun, dan berakhir pada fase repong damar.



    KESIMPULAN
    Penelitian ini mengungkapkan adanya empat pengaruh yang mendasari keputusan petani dalam pengelolaan lahan hutan yaitu: (a) pengaruh ekonomi, (b) pengaruh ekologis, (c) pengaruh sosial dan (d) pengaruh kultural. Adanya hubungan yang simbiosis antara keempat pengaruh tersebut membawa petani pada pandangan bahwa pengelolaan lahan hutan dengan sistem repong damar adalah pilihan yang paling menguntungkan. Karena setiap fase pengelolaan lahan hutan (darak, kebun dan repong) memberikan kontribusi yang saling mendukung satu sama lain sehingga meminimalkan resiko kegagalan dalam aktivitas pertanian.
    Keberlanjutan sistem repong damar sangat ditentukan oleh bertahannya hubungan simbiosis dan terjaganya keseimbangan peran keempat pengaruh diatas dalam proses pengambilan keputusan yang akan dibuat oleh petani. Kasus konversi damar ke cengkeh pada tahun 1970-an merupakan contoh yang memperlihatkan adanya gangguan terhadap keseimbangan peran tersebut, yang sekaligus berpotensi mengancam kelestarian dan keberlanjutan repong damar. Dari ketiga fase pengelolaan lahan hutan tadi, fase kebun menempati kedudukan yang istimewa dalam perspektif ekonomi dan kognisi petani, juga sekaligus sebagai fase yang rawan, rentan dan potensial sebagai titik awal terjadinya perubahan secara ekstrim dalam mode pengelolaan lahan hutan di pesisir Krui.

    DAFTAR KEPUSTAKAAN
    Acheson, James M. 1980. Agricultural Business Choices in a Mexican Village. Dalam Peggy F. Barlett (ed) Agricultural Decision Making; Anthropological Contribution to Rural Development. New York: Academic Press. Hal 241-264.
    Acheson, James M. dan Bonnie J. McCay. 1987. Human Ecology of the Commons. Dalam Bonnie J. McCay & James M. Acheson (ed) The Question of the Commons; The Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: The University of Arizona Press.
    Atmaja, Nengah B. 1993. Pengelolaan Hutan Wisata Kera Sangeh oleh Desa Adat Sangeh. dalam Ekonesia 1:1-22.
    Barlett, Peggy F. 1980. Agricultural Decision Making, Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press.
    Bulmer, R. N. H. 1982. Traditional Conservation Practices in Papua New Guinea, dalam L. Morauta et al. (eds) Traditional Conservation in Papua New Guinea: Implication for Today. PNG.
    Cernea, Michael M (ed). 1988. Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi dalam pembangunan Pedesaan. Jakarta: UI-Press.
    Colchester, Marcus. 1993. Forest People and Sustainability dalam Marcus Colchester & Larry Lochman (ed) The
    Struggle for Land and the Fate of the Forests. Penang: World Rainforest Movement. Hal 61- 99.
    Dove, Michael R. 1993. Uncertainty, Humility, and Adaptation in the Tropical Forest: The Agricultural Augury of the Kantu dalam Ethnology 40 (2): 145-167.
    Dove, Michael R. 1993a. A Revisionist View of Tropical Deforestation and Development. Honolulu: East-West Center Environment Series No. 19.
    Dove, Michael R. 1994. Transition from native Forest Rubbers to Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae) among Tribal Smallholders in Borneo. Honolulu: East-West Center Reprints Environment Series No. 21.
    Dougherty, J.W.D. 1985. Directions in Cognitive Anthropology. Urbana: University of Illinois Press.
    Dupain, Dominique. 1994. Une Region Traditionallement agroforestiere en mutation: le Pesisir. ORSTOMBIOTROP. Bogor.
    Engberg, Lila E. 1988. Rural Household, Resource Allocation and Management: An Ecosystem Perspective.
    Eridwiantari, Fenny. 1996. Tata Niaga Damar: Kajian Tentang Hubungan Antar Pelaku Dalam Perdagangan Damar di Krui, Kecamatan Pesisir Tengah, Lampung Barat. Skripsi sarjana antropologi Universitas Indonesia.
    Fikarwin. 1996. Reduplikasi dan Koalisi Internal Rumah Tangga: Proses Adaptasi Terhadap Perubahan Sistem Produksi dan Pasarisasi di Penengahan Krui, Lampung Barat. Tesis Master. Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
    Gatewood, J.B. 1985. Actions Speak Louder than WordsÓ. dalam J.W.D. Dougherty (eds) Direction in Cognitive Anthropology. Urbana: University of Illinois Press.
    Gladwin, Christina H. 1980. Theory of Real-life Choice: Application to Agricultural Decision. dalam Peggy F.Barlett (eds) Agricultural Decision Making, Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press. Hal. 45-82.
    Hadikusuma, H. Hilman Prof. SH. 1990. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: CV. Mandar Maju.
    Johnson, Allen. 1974. Ethnoecology and Planting Practices in a Swidden Agricultural Systems. American Ethnologist 1:87-101.
    Juhadi. 1995. Repong Damar: Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Desa Way sindi, Krui, Lampung Barat. Tesis Master. Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
    Korten, David C. 1987. Community Management: Asian Experience and Perspective. West Harford. Connecticut. Kumarian Press.

  • Masyarakat Pedesaan

    Date: 2012.06.15 | Category: info | Response: 0
    BAHAN 1:
     Masyarakat Pedesaan di Indonesia

    Koentjaraningrat
    PENDAHULUAN
    Menurut statistik sensus pertanian 1963, di Indonesia terdapat lebih dari 41.000 komunitas desa, di antaranya lebih dari 21.000 terda­pat di Jawa.[1] Ke-41.000 komunitas desa itu didiami oleh lebih dari 80 juta penduduk, yaitu lebih-kurang 80 persen dari seluruh pendu­duk pada waktu itu, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih bekerja dalam sektor pertanian (termasuk peternakan dan perikanan). Walaupun demikian dalam angka statistik ada kecondongan menurun, yang menunjukkan bahwa dalam waktu sepuluh tahun penduduk Indonesia yang aktif secara ekonomis (artinya, tak terhitung yang menganggur dan setengah menganggur) da­lam sektor pertanian turun dari 71,9 persen dalam tahun 1961 menjadi 63,2 persen dalam tahun 1971 (King 1973 : Tabel 1).
    Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan: (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa go­longan pertama terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kali­mantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku.
    Desa-desa yang termasuk golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, dan merupakan tempat bermukim dan hampir 65 persen dari seluruh penduduk Indonesia (lebih dari 85 juta menurut Sensus 1971); sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7 persen dari seluruh wilayah negara kita ini.

    BERCOCOK TANAM DI LADANG
    Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komu­nitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai membuka suatu la­dang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang,  dahan-dahan serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau pupuk secara khusus. Abu yang berasal dan pembakaran pohon cukup untuk memberi kesuburan pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlan sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal berupa tongkat yang berujung runcing yang diberati dengan batu, dekat pada ujungnya yang runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria menusuk lubang ke dalam tanah, di mana biji-biji tanaman dimasukkan, pekerjaan yang dilakukan oleh wanita. Pekerjaan selanjutnya ialah membersihkan ladang dari tanaman liar, dan menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus dan hama lainnya.
    Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slash and burn agriculture, atau “bercocok-tanam menebang dan membakar”, yang seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; se­dangkan sebutan yang lain adalah shifting cultivation, atau “pertanian berpindah-pindah”, yang menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak digarap dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama akan kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi. Akibatnya ialah bahwa para petaninya harus meninggalkannya dan membuka ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu menebang dan membakar bagian yang baru dari hutan.
    Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali. Dalam waktu itu ladang yang pertama sudah kembali menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi. Walaupun demikian kita dapat membayangkan bahwa rangkaian ladang baru yang dibuka oleh para petani ladang itu makin jauh letaknya dari komunitas desa pemukimannya. Oleh karena itu para petani seringkali mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat ladang yang mereka kerjakan, di mana mereka dapat tinggal selama musim sibuk dalam lingkaran usaha tani mereka. Hanya dalam musim-musim tatkala kesibukan bercocok-tanam mengendur mereka pulang ke desa induk mereka untuk melakukan pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas yang lain.
    Tidak jarang terjadi bahwa sekelompok gubuk tempat mereka itu tinggal sementara pada waktu-waktu sibuk, menjadi suatu pusat pemukiman baru, dengan suatu identitas tersendiri, sehingga dapat memisahkan diri dari desa induknya dan membentuk suatu desa yang baru.
    Mudah dapat dimengerti bahwa suatu cara bercocok-tanam seperti terurai di atas memerlukan tanah yang luas. Karena itu cara itu hanya dapat dilakukan di daerah-daerah yang padat penduduknya masih rendah, seperti misalnya di Sumatera yang dalam tahun 1971 padatnya rata-rata sekitar 38 orang tiap kilometer persegi, di Kalimantan dengan rata-rata 9 orang tiap kilometer persegi, atau di Sulawesi de­ngan rata-rata 37 orang tiap kilometer persegi. Di Jawa atau Bali, di mana padat penduduknya dalam tahun itu juga secara respektif ada­lah 565 dan 377 tiap kilometer persegi, tidak mungkin dilaksanakan cocok-tanam di ladang. Cara bercocok-tanam di daerah-daerah ini sebagian besar memang dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau sawah.

    BERCOCOK TANAM MENETAP DI JAWA, MADURA DAN BALI
    Tipe-tipe Penggunaan Tanah
    Seorang petani di Jawa, Madura atau di Bali, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu: (1) kebun kecil di seki­tar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan mene­tap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang diirigasi.
    Di tanah kebun kecil sekitar rumah, yang di Jawa Tengah dan Timur, dan juga di Bali, disebut pekarangan, seorang petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu dan lain-lain, yang diperlukannya dalam kehidupan   rumah-tangganya sehari-hari. Di antara pohon buah-buahan terdapat jenis-jenis pohon tinggi yang berumur panjang,  seperti bermacam jenis pohon nangka dan sukun; jenis-jenis pohon setengah tinggi seperti berbagai jenis pohon jambu, lamtoro dan lain-lain; jenis-jenis pohon yang berumur pendek seperti pepaya  dan  pisang;  dan jenis-jenis yang tumbuh  dekat di tanah, atau yang berupa belukar, seperti nenas, salak, atau jeruk. Di antara tanaman bumbu-bumbu banyak yang berupa belukar, tetapi ada pula yang  dipergunakan  untuk  meramu   obat-obatan tradisional. Pekarangan tentu juga mengandung tanaman yang berupa umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong. Tak dapat dilupakan, bahwa di pekarangan sering ada pula kolam ikan yang selain untuk tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai  sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar desa atau kepada para tengkulak kelapa dan buah-buahan.[2]
    Di tanah pertanian kering, yang di Jawa biasanya disebut tegalan, petani-petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada tengkulak. Tanaman itu adalah antara lain jagung, kacang kedele, berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian, tetapi juga padi yang dapat tumbuh tanpa irigasi. Wa­laupun tidak diirigasi, tanah tegalan biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram dengan teratur. Tanah yang menjadi tegalan adalah tanah yang kurang cocok untuk dijadikan tanah basah, karena kemampuannya yang rendah untuk mengandung air, atau tanah yang letaknya di lereng-lereng gunung yang terjal sehingga memerlukan investasi tenaga untuk membangun sistem irigasi yang terlampau tinggi. Proporsi tanah pertanian di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berupa tegalan (lihat Tabel III-l) adalah cukup tinggi, yaitu hampir 40 persen, yang berarti sama dengan pro­porsi tanah pertanian yang berupa tanah basah.
    Bercocok tanam di tanah basah atau sawah itu, seperti tersebut di atas memang merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Jawa dan Bali sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik penggarapan  tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan  dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat hara yang terkandung di dalamnya.

    TABEL III—1: Proporsi Berbagai Tipe Penggunaan Tanah di Jawa
    Propinsi
    Proporsi ta­nah pertani­an terhadap seluruh tanah
    Ladang
    Proporsi Berbagai Tipe Tanah (%)
    Pemakaian
    Pekarang­an
    Tegalan
    Sawah
    Lain
    Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur
    52,8
    61,4
    44,8
    3,0
    8,8
    1,7
    11,4
    3,6
    10,7
    39,8
    59,6
    42,8
    43,1 28,4 42,4
    2,7
    2,6
    2,4
    SUMBER: Sensus Pertanian, EPS, 1963.

    Tahap-tahap Produksi Bercocok-Tanam di Sawah
    Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air, maka permukaannya harus mendatar sama sekali, dan dikelilingi oleh suatu pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter. Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung me­merlukan pembentukan susunan bertangga yang, seperti telah dikata-kan di atas, memerlukan investasi tenaga kerja yang tinggi. Namun, di daerah dataran rendah pun bercocok-tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja di semua tahap produksinya.
    Rangkaian tahap-tahap produksi dalam hal bercocok-tanam di sawah itu dimulai pada akhir musim kering, yang menurut teori jatuh pada bulan Oktober atau November. Dalam kenyataan, banyak petani di Jawa menentukan sendiri saat mereka memulai rangkaian tahap-tahap produksi tersebut, yang biasanya banyak dipengaruhi oleh cara-cara perhitungan tradisional seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu dukun yang disebut primbon.
    Tiap lingkaran tahap-tahap pekerjaan bercocok-tanam itu biasanya dimulai dengan memperbaiki bagian-bagian dari sistem irigasi, misalnya pematang, saluran dan pipa-pipa bambu, dan kadang-kadang juga bendungan yang merupakan sumber dari sistem irigasi bagi sekelompok sawah sekitar desa. Pekerjaan ini adalah khusus pekerjaan laki-laki.
    Langkah selanjutnya adalah membuka saluran-saluran air sehingga air dapat mengalir dari bagian sungai yang dibendung ke sawah-sawah hingga merata. Pembagian air ke sawah di desa-desa di daerah pegunungan di Jawa biasanya mudah, karena air dengan mudah dapat mengalir dari sawah-sawah yang letaknya tinggi ke sawah-sawah yang letaknya rendah. Sebaliknya, di desa-desa yang letaknya rendah, pengaliran dan distribusi air ke sawah-sawah yang jauh letaknya adalah lebih sukar. Agar supaya pembagian air ke sawah-sawah itu dapat berlangsung lancar dan adil, maka desa-desa di tanah yang rendah itu seringkali mempunyai seorang anggota pamong desa yang tugasnya khusus mengurus soal irigasi ini. Anggota pamong desa ini antara lain disebut ulu-ulu.
    Di Bali soal-soal irigasi pembagian air, pertengkaran mengenai distribusi air irigasi dan sebagainya, diurus oleh suatu organisasi yang bemama subak. Organisasi ini tidak terikat sebagai bagian dari organisasi dari suatu perkampungan di Bali, yang disebut banjar, tetapi selalu terikat kepada suatu kompleks atau sistem bendungan tertentu. Bendungan-bendungan ini memberi air melalui suatu sistem saluran dan pipa-pipa yang luas kepada sejumlah sawah yang tertentu juga, sedangkan pemilik sawah-sawah tadi mungkin saja terdiri dari warga-warga berbagai banjar yang berlainan. Sebaliknya, tidak jarang pula terjadi bahwa ada warga dalam suatu banjar itu menjadi anggota dari beberapa subak yang berbeda-beda karena memiliki berbagai sawah yang tergantung kepada sistem bendungan sumber air yang berbeda-beda. Solidaritas para anggota subak tidak ditentukan oleh solidaritas kewargaan banjar, melainkan oleh suatu sistem pura (yaitu tempat-tempat pemujaan serta aktivitas upacara, seperti odalan dan sebagainya) dalam rangka sistem pura itu. Sebagai contoh kita bisa melihat hubungan yang khas itu antara beberapa subak dengan banjar-banjar yang terletak di daerah Tihingan di Suapraja Klungkung (Bali Selatan).
    Sawah digenangi air selama beberapa waktu, yaitu antara satu hingga dua minggu. Sementara itu sisa-sisa tanaman padi sebelumnya dan tumbuh-tumbuhan lain di sawah dibersihkan. Setelah itu tanah dicangkul atau dibajak (di banyak daerah di Jawa membajak disebut meluku) yang kadang-kadang dikerjakan oleh orang, tetapi kadang-kadang pula oleh kerbau atau sapi. Sawah-sawah yang tanahnya diolah dengan bajak, seringkali mempunyai bagian-bagian yang tak terjangkau oleh bajak sehingga masih harus diolah dengan cangkul juga.
    Sementara itu sudah disiapkan juga tempat-tempat untuk menyebarkan benih. Pesemaian-pesemaian itu berupa bidang-bidang kecil pada bagian-bagian sawah yang mudah diberi air, yang sebelumnya telah diolah dengan cangkul dan diratakan.
    Untuk kedua kalinya sawah diolah dengan bajak dan cangkul, serta dibiarkan lagi terendam air selama beberapa hari. Pematang-pematang pun sudah diperbaiki. Biasanya bajak yang dipergunakan untuk mengolah tanah adalah milik bersama dari sekelompok petani. Demikian juga binatang yang menghela bajak itu. Bajak dan kerbau atau sapi itu dipakai secara bergantian oleh para petani yang memilikinya. Bajak yang tidak ditarik oleh binatang, biasanya menggunakan tenaga manusia yang disewa. Cangkul merupakan alat yang biasa­nya dimiliki oleh setiap petani atau buruh tani.
    Tanah yang sudah diolah untuk kedua kalinya, dan digenangi air selama satu hingga dua minggu itu, kemudian diratakan dengan garu, yang ditarik oleh kerbau atau sapi, tetapi seringkali juga oleh manusia. Setelah pekerjaan ini selesai, maka sawah siap untuk ditanami dengan tunas-tunas padi yang sementara itu sudah tumbuh di pesemaian.
    Pekerjaan menanam dilakukan oleh tenaga wanita. Tata urut pekerjaan itu adalah sebagai berikut: mula-mula tunas-tunas muda itu dicabut dengan hati-hati dari pesemaian, lalu diikat menjadi be­berapa ikatan yang dibagi-bagikan secara merata di tiap petak sawah. Lalu mulailah tunas-tunas itu ditanam satu demi satu dengan tangan, menjadi deretan-deretan yang panjang dan teratur.
    Selama tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga ta­naman mereka dari berbagai tumbuh-tumbuhan liar (matun) yang dilakukan oleh wanita, dan apabila padi sudah mulai berbuah, serangan-serangan biasanya datang dari burung, tikus, serangga dan se­bagainya. Untuk pekerjaan ini para petani seringkali harus mengerahkan tenaga tambahan.
    Berapa lamanya padi berbuah dan masak, tergantung pada jenis padi dan berbagai faktor lain. Ada jenis padi yang sudah dapat dipotong setelah berusia empat bulan, tetapi ada pula jenis-jenis lain yang baru dapat dipanen setelah enam bulan atau lebih. Panen selalu diker­jakan oleh wanita, dengan menggunakan pisau kecil yang disebut ani-ani, untuk memotong tangkai-tangkai padi itu satu demi satu. Oleh karena itu cara panen semacam itu sangat banyak membutuhkan te­naga tambahan, yang diperoleh dengan menyewanya dengan upah berupa bagian dari padi yang dipotong. Sebelum panen, sering diadakan upacara slametan yang dipimpin oleh seorang dukun.
    Tiga atau empat bulan setelah panen, sementara menunggu penanaman padi yang berikutnya, para petani menanam bermacam tanaman lain, seperti ubi-ubian, singkong, berbagai kacang, kedele, jagung, juga padi gaga (yaitu padi kering), sayur-mayur, tembakau, kadang-kadang juga tebu, dan bumbu-bumbu, yang jumlahnya ada lebih dari 20 macam. Tanaman sekunder ini oleh orang Jawa disebut palawija.
    Penanaman palawija dalam sistem bercocok-tanam di sawah adalah suatu perkembangan yang baru berlangsung kira-kira satu abad lamanya di Jawa. Singkong atau jagung sejak lama memang menjadi tanaman utama di daerah-daerah di Jawa dan Madura yang tidak dapat ditumbuhi padi dengan baik,[3] tetapi berbagai jenis ta­naman lain yang termasuk golongan palawija itu sekarang secara berangsur-angsur rupa-rupanya telah diterima juga oleh rakyat desa, dan sudah mulai diintegrasikan ke dalam sistem bercocok-tanam di sawah-sawah.

    Pengerahan Tenaga Pada Cocok-Tanam di Sawah
    Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu-membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah “gotong-royong”. Sistem pengerahan tenaga seperti itu tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di tempat-tempat lain di dunia, di mana produksi bercocok-tanam secara tradisional masih dominan, yaitu di komunitas-komunitas pedesaan suku-suku-bangsa penduduk Afrika, Asia, dan Oseania, dan penduduk pribumi di Amerika Latin. Sistem gotong-royong sampai masa kini bahkan masih terdapat juga di beberapa tempat di Eropa.
    Di Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya seperti:
    1. Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang lain sedesa.
    2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dan sebagainya, untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat, dengan memberi jamuan makan.
    3. Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk persiapan dan penyelenggaraan pestanya.
    4. Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dan sebagainya, untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
    Dalam pertanian di Jawa, sistem gotong-royong biasanya hanya dilakukan untuk pekerjaan yang meliputi perbaikan pematang dan saluran air, mencangkul dan membajak, menanam dan membersihkan sawah dari tumbuh-tumbuhan liar (matun). Untuk pekerjaan memotong padi dipergunakan tenaga buruh tani wanita dan anak-anak yang diberi upah. Di banyak daerah pedesaan di Jawa sistem gotong-royong dalam lapangan bercocok-tanam juga berkurang, dan diganti dengan sistem memburuh. Upah untuk membayar tenaga buruh da­pat berupa (i) upah secara adat, dan (ii) upah berupa uang.
    Upah secara adat dibayar dengan sebagian dari hasil pertanian, dan jumlahnya tergantung keadaan. Di daerah-daerah di mana penawaran tenaga buruh besar, maka upahnya tentu menjadi lebih kecil. Di Jawa, misalnya, sistem upah buruh tani dilakukan untuk memotong padi, yaitu yang disebut sistem bawon. Dalam keadaan biasa, wanita-wanita buruh itu sudah harus puas dengan hanya 1/25 dari hasil yang dipetiknya. Sistem-sistem pembayaran buruh tani secara adat ini bisa mempunyai akibat yang baik, karena para buruh tani de­ngan demikian berusaha untuk bekerja segiat-giatnya, agar dapat menghasilkan sebanyak-banyaknya, sehingga upahnya pun dapat bertambah banyak.
    Upah berupa uang adalah suatu cara membayar buruh tani yang sudah lazim juga di seluruh Indonesia. Walaupun cara ini merupakan suatu sistem yang relatif baru di Indonesia, di Jawa sudah dikenal se­jak pertengahan abad ke-19 yang lalu. Para petani sering memiliki bantuan tenaga buruh yang tetap, yang memberi bantuan dalam per­tanian pada waktu-waktu sibuk, dan yang juga membantu dalam rumah tangga pada waktu-waktu senggang. Pembantu-pembantu serupa itu biasanya menumpang (mondok) di rumah keluarga tani bersangkutan, ikut makan, mendapat pakaian, dan biasanya juga mendapat sekedar upah berupa uang. Buruh tani yang paling lazim adalah buruh tani yang memburuhkan tenaganya untuk pekerjaan tertentu, tetapi tidak pada satu keluarga tani saja. Buruh semacam ini dapat disewa secara borongan, dapat juga secara harian. Tarif upah buruh tani di Indonesia tentu berbeda-beda menurut daerahnya, yang tentu erat pula kaitannya dengan besar-kecilnya penawaran tenaga buruh.
    Masa kini, terutama dalam produksi bercocok-tanam terjadi proses   pergeseran dari cara pengarahan tenaga bantuan di luar rumah-tangga dengan gotong-royong ke cara dengan menyewa buruh. Proses pergeseran itu dalam bercocok-tanam di Jawa menurut para ahli  pertanian Belanda sudah dimulai  dalam   tahun 30-an  (Kolff, 1937) dan  penelitian saya sendiri terhadap masalah pengerahan tenaga kerja dalam komunitas desa di daerah Bagelen di Jawa Tengah bagian Selatan, juga mengobservasi proses yang sedang terjadi di sana dalam tahun 50-an (Koentjaraningrat 1961: 1977). Tabel III-2 menunjukkan jumlah rata-rata jam kerja bagi tiap individu petani  aktif dalam satu panen pada satu hektar sawah di daerah Bagelen dalam tahun 1958. Dalam tabel itu juga tercantum jumlah rata-rata jam kerja bagi tiap individu, yang didasarkan atas sistem gotong-royong maupun yang didasarkan kerja buruh.


    TABEL III-2. Jumlah Rata-rata Jam Kerja Bagi Tiap Individu Pada Satu Hektar Sawah di Daerah Bagelen (1958).
    Aktivitas produksi
    Tenaga gotong-royong
    Tenaga buruh
    Tenaga hewan
    Pria
    Wanita
    Anak
    Mempersiapkan sawah dan sistem irigasi* Mempersiapkan tempat pe-
    semaian*
    Menanam biji*
    Membajak-mencangkul sa-
    wah (dua kali)
    Menggaru sawah (dua kali)
    Mempersiapkan benih* Menanam benih
    Matun*
    Menuai
    70
    25
    2
    -
    -
    40
    -
    51
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    43
    205
    59
    300


    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    12
    42
    42
    -
    -
    -
    -
    -
    92
    54
    162


    -
    -
    81
    44
    -
    -
    -
    -
    -
    Total 188
    607
    12
    350
    125
    SUMBER: Penelitian lapangan Koentjaraningrat
    Data dikumpulkan dengan cara mengobservasi 10 kasus.
    *     Datadikumpulkan dari mulut informan yang memiliki 36 kesatuan tanah untuk usaha-tani, seluruhnya seluas 21 hektar lebih.

    Akhir-akhir ini malahan timbul keadaan yang lebih gawat lagi. Di banyak tempat di Jawa adat para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka dengan buruh tani mulai mencapai batas kemampuannya. Memang, kalau kita bepergian dengan kereta api di Pulau Jawa dalam bulan-bulan April atau Mei, yaitu pada waktu musim panen, kita sering dapat melihat padi yang sudah menguning yang sedang dipotong oleh berpuluh-puluh manusia beraneka-warna.
    Pandangan yang lebih mengkhusus pada sebidang sawah tertentu dengan taksiran terhadap jumlah manusia yang sedang sibuk memotong padi di sana, menemukan bahwa di suatu bidang sawah yang luasnya kira-kira seperlima hektar itu bekerja tidak kurang dari 40 orang! Empatpuluh hingga limapuluh tahun yang lampau jumlah pemotong padi yang beramai-ramai datang untuk membantu menuai padi tidak pernah lebih dari 15 orang. Mereka membantu dengan semangat gotong-royong, dan menurut adat boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi yang mereka potong. Kerabat-kerabat dan para teman dekat yang turut membantu seringkali menerima seperenam sampai seperlima bagian; tetangga atau kenalan jauh menerima seperdelapan sampai sepersepuluh bagian; dan wanita-wanita yang pekerjaannya memang buruh pemotong padi dan yang setiap musim panen berkeliling dari desa yang satu ke desa lain untuk memotong padi, menerima sekitar sepersepuluh bagian dari hasil yang mereka potong. Bagian yang diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh pemotong tadi disebut dengan istilah adat Jawa, bawon.
    Pada zaman sekarang, di mana jumlah kerabat, tetangga, kenalan dan buruh yang datang membantu memotong padi itu sudah sekitar 40 orang, tentu sangat berat bagi petani pemilik sawah itu untuk mempertahankan adat berdasarkan sistem gotong-royong bawon itu. Oleh karena itu buruh wanita pemotong padi sekarang tidak meneri­ma lebih dari seperduapuluh bagian dari padi yang berhasil mereka potong. Walaupun demikian, jumlah buruh tani seperti itu tetap saja bertambah banyak jumlahnya di masyarakat pedesaan di Jawa.
    Secara sangat radikal, sejak kira-kira sepuluh tahun yang lalu, di banyak tempat di Jawa telah timbul sistem pengerahan tenaga panen yang baru, yang dengan cepat telah mulai menghapuskan adat panen berdasarkan gotong-royong yang disebut adat bawon terurai di atas. Menurut sistem baru yang disebut sistem tebasan itu, seorang petani pemilik usaha tani menjual sebagian besar padinya yang sudah menguning kepada seorang pedagang dari luar desa yang akan mengusahakan pemotongan padinya. Pedagang yang juga disebut penebas ini  akan datang pada waktunya  dengan  buruh pemotong padinya sendiri yang juga berasal dari desa lain, yang jumlahnya tidak lebih dari empat-lima orang. Mereka membabat padi di sawah dengan sangat efisien[4] dengan menggunakari arit atau sabit.[5]
    Contoh lain dari proses tergesernya adat gotong-royong oleh sistem baru dengan menyewa buruh tani wanita adalah adat menumbuk padi secara tradisional. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu seorang petani akan meminta pertolongan para isteri tetangga atau kenalan-kenalannya untuk menumbuk padinya. Mereka itu akan menerima sebagian dari padi yang mereka tumbuk  sebagai kompensasi atas bantuan mereka. Juga sejak kira-kira sepuluh tahun yang lalu masyarakat desa di Indonesia mulai mengenal mesin huller, yaitu mesin kecil penggiling padi yang dapat dibeli oleh petani-petani yang kaya. Para petani ini tidak hanya memakai mesin seperti itu untuk keperluan mereka sendiri, tetapi sering juga menyewakannya kepada petani-petani lain. Dengan menggunakan mesin huller itu padi dapat digiling secara efisien, tetapi sebaliknya para isteri tetangga dan buruh tani wanita yang biasanya diminta atau dipanggil untuk membantu menggiling padi itu dengan adanya mesin itu kehilangan suatu mata pencaharian tambahan.[6]
    Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani, antara lain terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di Jawa.
    Dalam contoh terakhir, adat pengerahan tenaga pembantu dalam produksi pangan tergeser oleh teknologi baru, namun pada umumnya proses penggeseran cara pengerahan tenaga tani dan gotong-royong menjadi menyewa buruh tani itu, antara lain disebabkan karena tenaga buruh tani itu menjadi sangat murah. Oleh karena itu jauh lebih mudah dan murah untuk menyewa tenaga bantuan daripada melaksanakan adat lama yang penuh tata-cara sopan-santun, dan yang akhirnya toh tidak tanpa biaya itu. Biaya yang diperlukan pada adat pengerahan tenaga tani secara tradisional biasanya adalah untuk menjamu para tetangga yang datang untuk membantu itu Biaya itu kadang-kadang sangat tinggi, karena tidak jarang ada unsur “gengsi” dalam menjamu tetangga itu.
    Adapun sangat murahnya biaya menyewa buruh tani itu disebabkan karena makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat kecil sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga Jawa sepanjang musim. Mereka ini memerlukan suatu mata pencaharian yang hanya bisa berupa memburuhkan tenaga.
    Semua hal terurai di atas itu mempunyai sebab yang lebih dasar
    yaitu bertambahnya penduduk Indonesia dengan sangat cepat tiap
    tahun (lihat Bab II).
    Fragmentasi Sawah di Jawa, Madura dan Bali
    Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat itu, terutama di Jawa memang merupakan sebab utama dari proses makin kecilnya usaha tani secara rata-rata. Menurut sensus pertanian 1963, tanah milik petani di Jawa dan Madura adalah rata-rata 0,7 hektar. Tanah pertanian berupa sawah atau tegalan yang sudah demikian kecilnya itu pada umumnya kemudian dipecah-pecah lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
    Fragmentasi yang sifatnya ekstrim seperti itu terjadi karena petani pemiliknya membagi-bagi tanahnya untuk digarap oleh sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara. Di antaranya ada cara yang paling tradisional, yaitu ketiga adat bagi-hasil: maro, mertelu dan merpat. Pada adat maro, petani yang menggarap tanah akan menerima separuh dari hasilnya, dan pajak tanah ditanggung oleh pemiliknya, sedangkan biaya produksi oleh si penggarap. Pada adat mertelu, perjanjian pembagian hasil adalah duapertiga bagi si pemilik tanah dan sepertiga bagi penggarap, dan mengenai biaya-biayanya perjanjiannya adalah sama seperti pada adat maro. Pada adat merpat, pemilik tanah memperoleh tigaperempat bagian tetapi harus membayar pajak tanah dan menanggung sebagian dari biaya produksi, dan penggarap hanya menerima seperempat bagian dari hasil, dan membayar sisa dari biaya produksi. Yang termasuk biaya produksi adalah pembelian bibit dan pupuk. Penggarap juga menanggung biaya untuk membayar tenaga buruh dan untuk menyewa alat-alat pertanian se­perti bajak dan alat penggaru serta hewan untuk menariknya. Dengan meningkatnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, merpat sekarang menjadi adat bagi-hasil yang paling lazim di Jawa, sedangkan adat maro sekarang hanya dilaksanakan antara para petani yang masih ada hubungan kerabat dekat, misalnya antara ayah dan anak-anaknya atau antara saudara-saudara sekandung.
    Fragmentasi sekarang juga terjadi karena di samping membagi hasil bagian-bagian dari tanahnya kepada sejumlah petani lain, seorang petani pemilik seringkali juga menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga berupa uang tunai. Pada masa kini banyak petani pemilik tanah juga sering menggadaikan bagian-bagian tertentu dari tanahnya selama satu atau dua kali panen. Orang yang menggarap tanahnya itu meminjamkan uang tunai sebagai gantinya, dan hasilnya adalah seluruhnya bagi yang menggarap. Sesuai dengan perjanjian, setelah satu atau dua panen uang yang dipinjam oleh pemilik tanah itu dikembalikan kepada si penggarap, dengan mendapatkan kembali juga tanahnya. Hasil bumi yang diambil oleh penggarap merupakan bunga dari uang yang telah dipinjamkan kepada pemilik tanah itu.
    Proses fragmentasi tanah di Jawa dan Madura memang berjalan terus, dan dengan demikian maka tanah pertanian milik para petani itu menjadi semakin kecil juga. Sensus pertanian 1963 juga menunjukkan bahwa dari 7,94 juta unit tanah milik petani di Jawa dan Madura, hanyalah 1,43 juta digarap sebagai kesatuan yang utuh; 5,11 juta unit tanah milik petani terpecah untuk penggarapannya menjadi dua sampai tiga bagian; 1,07 juta terpecah ke dalam empat sampai lima bagian; 0,3 juta ke dalam enam sampai sembilan bagian; dan 0,02 juta bahkan terpecah ke dalam sepuluh bagian atau lebih (Brand 1969: hlm. 315).
    Perlu diperhatikan bahwa proses fragmentasi tanah pertanian garapan di Jawa, Madura dan Bali yang menjadi semakin ekstrem ini, yang disebabkan karena penambahan penduduk yang sangat cepat, dibarengi dengan proses lain yang sebenarnya bertentangan, yaitu proses konsentrasi pemilikan ke dalam tangan dari sejumlah petani kaya yang terbatas jumlahnya. Proses yang tersebut kedua antara lain merupakan akibat dari proses meningkatnya kemiskman di daerah pedesaan, walaupun ada beberapa sebab lain juga, seperti terlihat dari beberapa penelitian mengenai masalah itu, yang terutamaa dilakukan di Jawa Barat.[7] Sejumlah penelitian lain yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa proses konsentrasi milik tanah ke dalam tangan beberapa orang petani kaya juga terjadi, sedangkan di samping itu proses fragmentasi penggarapan tanah juga berlangsung terus.[8] Dengan demikian memang cukup banyak data konkret mengenai proses melebarnya jurang antara petani kaya dan petani miskin, dan lebih banyak pula penelitian mendetail mengeni kemiskinan di antara penduduk pedesaan di Jawa, misalnya penelitian D.H. Penny dan M. Singarimbun mengenai masa­lah tekanan penduduk dan kemiskinan di desa Sriharjo dekat Yogya (Penny, Singarimbun 1973), atau oleh A. Harts-Broekhuis dan H. Palte-Grooszen (1977) di desa Jambidan, juga dekat Yogya. Hal itu perlu supaya kita memperoleh pengertian lebih mendalam mengenai bagaimana petani miskin di Jawa berhasil menyesuaikan diri dengan keadaannya agar dapat hidup langsung.

    Konsep Geertz Tentang Involusi Pertanian
    Ahli antropologi terkenal, C. Geertz, yang pernah melakukan penelitian mengenai sejarah ekonomi pertanian di Jawa, pernah mengembangkan konsep “involusi pertanian”, atau agricultural involutin, yang dipakainya untuk menggambarkan proses sejarah pertanian di Jawa sampai dasawarsa 50-an yang lalu. Uraian mengenai konsep itu termaktub dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Agricultural Involution (1963). Pada halaman 80 dari buku itu Geertz merumuskan definisi yang berbunyi sebagai berikut:

    “Wet-rice cultivation, with its extraordinary ability to maintain levels of mar­ginal productivity by always managing to work one more man in without a serious fall in per-capita income, soaked up almost the whole of the additi­onal population that Western intrusion created, at least indirectly. It is this ultimately self-defeating process that I have proposed to call agricultural involution.”

    Definisi tersebut memang kurang jelas, tetapi dari uraiannya lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya dalam buku itu, tampak bahwa Geertz membayangkan perkembangan pertanian sawah di Jawa seba­gai suatu keadaan di mana para petani yang menggarap bidang-bidang tanah yang memang sudah kecil dan tak dapat dijadikan lebih besar lagi itu, toh masih terkena tekanan pertambahan penduduk secara terus-menerus. Walaupun demikian, kemiskinan di Jawa tidak bertambah secara cepat serta secara besar-besaran, karena dengan makin bertambamnya intensitas penggarapan bidang-bidang sawah yang kecil itu,maka banyak pula tenaga kerja dapat tertampung. Hal itu makin memperbesar hasil pertanian, dan hasil pertanian yang makin bertambah itu menyebabkan selalu tersedianya makan bagi penduduk yang makin banyak jumlahnya itu. Jadi walaupun tingkat kemakmuran para petani di Jawa dan Bali tidak pernah akan dapat meningkat, namun intensifikasi kerja tadi itulah yang menambah hasil panen, dan bukan karena cara kerja yang lebih keras yang dilakukan para petani itu, melainkan cara kerjasama, yang dilakukan oleh tenaga petani yang lebih banyak jumlahnya. Tambahan itu memang tidak banyak, namun dapat dinikmati secara rata. Dengan merasakan kemiskinan bersama (shared poverty) itulah penderitaan dapat dikurangi.
    Secara teori hal itu berarti bahwa produksi naik apabila ditinjau dari aspek tanah dan dihitung per hektar tanah, tetapi konstan atau bahkan turun bila ditinjau dari aspek tenaga dan dihitung per individu. Dengan demikian suatu kelebihan hasil produksi tidak pernah akan mungkin tertimbun, sehingga dapat terbentuk suatu surplus ekonomi yang dapat dipakai sebagai modal untuk berkembang dan membangun. Dengan itu tidak ada perkembangan yang sifatnya membesar keluar, melainkan suatu perkembangan yang sifatnya makin kompleks-mendetail-mendalam.[9] Proses inilah yang oleh Geertz dicoba digambarkan dengan istilah “involusi” itu. Untuk menguraikan konsepnya, Geertz antara lain memakai proses makin terpecah-pecahnya tanah petani Jawa itu akibat pemberian bagian-bagian dari tanahnya oleh para petani yang kecukupan kepada petani-petani kecil, dengan cara-cara seperti menyewakan, membagihasilkan, atau menggadaikan, sebagai contoh-contoh yang penting (Geertz, 1963:100-101).
    Di samping mendapat perhatian yang besar, buku Geertz tersebut di atas juga mendapat banyak kecaman, tetapi kecaman-kecaman itu umumnya tidak mengenai azas permasalahannya,[10] kecuali kecaman yang berasal dari ahli antropologi Belanda, O.D. Van den Muijzenberg, yang mencoba menerapkan konsep Geertz untuk menganalisa suatu daerah pertanian sawah kecil yang terpecah-pecah, yang juga terkena tekanan penduduk yang bertambah. Hanya saja letak daerah yang dibicarakannya itu tidak di Indonesia, melain­kan di Pulau Luzon Tengah, Filipina. Laporan dari analisa itu tercantum dalam karangan Involution or Evolution in Central Luzon (1975).[11] Dalam karangannya itu Van den Muijzenberg melancarkan dua kecaman pokok, ialah bahwa: (1) konsep Geertz mengenai involusi kebudayaan terlalu kabur, karena tidak membedakan secara tajam antara aspek produksi dan aspek konsumsi; (2) gambaran Geertz tentang involusi pertanian mengabaikan kenyataan bahwa para petani di Jawa, seperti juga di Luzon, banyak mendapat penghasilan tam­bahan dari sumber lain di luar pertanian.[12]
    Van den Muijzenberg menyarankan bahwa dalam menganalisa proses perkembangan pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang kecil dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya seperti di Luzon Tengah atau di Jawa, seorang peneliti sebaiknya membedakan secara tajam antara aspek  produksi dan aspek konsumsi. Dalam produksi petani seringkali dapat meningkatkan hasil panen dengan mempekerjakan lebih banyak tenaga manusia dalam prosesnya. Untuk menyebut aspek yang mengenai aspek produksi ini Van den Muijzenberg menerima istilah Geertz agricul­tural involution. Namun, hasil panen yang bertambah sebagai akibat intensifikasi penggarapan tanah tadi, dibagi rata antara para petani yang juga bertambah jumlahnya. Untuk menyebut aspek mengenai konsumsi ini, Van den Muijzenberg menyarankan untuk mempergu-nakan istilah Geertz yang kedua yaitu shared poverty. Dengan demikian Van den Muijzenberg berusaha mempertajam konsep cultural involution dengan memisahkannya dari konsep shared poverty. Da­lam konsepsi Geertz, perbedaan yang tajam itu tidak ada.
    Kecaman Van den Muijzenberg bahwa Geertz sama sekali mengabaikan fakta bahwa sebagian besar petani kecil di Jawa, seperti juga halnya di Luzon, banyak mempunyai sumber mata pencahanan di luar pertanian, memang merupakan kecaman yang tepat. Petani-petani di Jawa masa kini biasanya memang banyak mempu­nyai sumber-sumber mata pencarian lain di luar pertanian. Kecuali berdagang atau berjualan di desa, mereka  juga berdagang atau berjualan di kota-kota yang dekat maupun yang cukup jauh dari desa tempat tinggal mereka. Di samping itu mereka sering bekerja sebagai buruh musiman pada waktu-waktu mereka tidak sibuk dalam sektor pertanian, atau bilamana pekerjaan dapat diserahkan kepada isteri atau buruh  tani.  Untuk menjadi buruh musiman mereka pergi ke kota-kota yang letaknya seringkali cukup jauh dari  desa mereka, dan bekerja sebagai kuli atau buruh kasar di berbagai macam proyek pembangunan yang akhir-akhir ini ada di hampir semua kota di Jawa. Kecuali itu kita juga mengetahui bahwa banyak petani pergi ke kota-kota secara musiman untuk bekerja sebagai tukang becak, dan yang tidak dapat dilupakan tetapi tidak cukup mendapat perhatian dari Geertz, ialah bahwa rumah tangga petani di Jawa juga dapat memperoleh penghasilan tambahan dari berbagai macam kegiatan dan usaha yang dilakukan para isteri dan anggota wanita[13] dalam rumah  tangga, serta dari aktivitas-aktivitas anak-anaknya.[14]


    MOBILITAS KOMUNITAS DESA
    Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian
    Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor per­tanian, dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak terdapat sumber mata pencaharian hidup yang lain. Pendu­duk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder. Tetapi banyak pula desa-desa, terutama di Jawa, di mana sebagian besar penduduknya bekerja di luar sektor per­tanian. Meskipun demikian kepada pegawai sensus, petugas survai KB, atau kepada para peneliti ilmu sosial, mereka itu biasanya mengidentifikasikan dirinya sebagai petani. Bagi seorang peneliti memang sulit untuk menentukan perbedaan antara petani dan non-petani dan juga antara pekerjaan primer dan sekunder itu, hanya berdasarkan atas pernyataan mereka saja.
    Seorang petani yang memiliki sebidang tanah yang cukup luas yang juga memiliki sebuah warung yang dijaga oleh ibunya pada awal musim bercocok-tanam, mungkin menerima penghasilan yang lebih banyak dari warungnya daripada dari hasil kebun pekarangannya yang dijual isterinya di pasar desa. Petani itu sendiri tentu saja sibuk di sawahnya, di sawah tetangganya di mana ia memberikan tenaganya berdasarkan adat gotong-royong, dan juga di pekarangan-nya sendiri, untuk memetik buah-buahan yang kemudian dijualnya sendiri menyusuri jalan-jalan di kota kecamatan terdekat, yang jaraknya bisa mencapai kurang-lebih sepuluh kilometer dari desanya. Dengan demikian seorang petani bersama keluarganya sebenarnya sama sibuknya dalam sektor pertanian maupun dalam sektor perdagangan. Apabila musim panen tiba, maka isterinya akan sibuk mengurus para buruh bawon di sawahnya, membantu bawon di sawah tetangga, dan sementara itu petani itu sendiri masih sibuk menjual buah-buahan di kota dan harus segera kembali lagi ke desa untuk menjual sebagian dari hasil padinya kepada para tengkulak dan BUUD. Selama berlangsungnya kegiatan itu seorang petani sebenarnya adalah seorang pedagang; baru apabila ia mulai menanam palawija di sawahnya, ia mulai aktif lagi dalam sektor pertanian.
    Seorang petani yang tidak memiliki tanah mungkin juga memi­liki sebuah warung yang diusahakan oleh isterinya, sedangkan ia sendiri pada awal musim bercocok-tanam sibuk bekerja sebagai buruh tani pada petani-petani lain yang biasanya berasal dari desa lain. Sering juga petani yang tidak memiliki tanah itu menjadi buruh pekerja jalan atau pekerja bangunan selama suatu jangka waktu yang pendek, yaitu misalnya selama tiga bulan, berdasarkan suatu kontrak. Mungkin juga ia pergi ke kota untuk bekerja sebagai tukang becak. Jadi walaupun ia masih cukup aktif dalam sektor pertanian, seorang petani yang tidak memiliki tanah itu tidak menyebut dirinya seorang petani. Ia juga tidak atau jarang menyebut dirinya buruh pekerja jalan atau buruh bangunan, tetapi lebih sering menamakan dirinya pemilik warung, walaupun penghasilannya dari sektor itu tidak banyak. Menjadi tukang warung dirasakannya lebih menaikkan gengsinya daripada menjadi buruh tani, pekerja jalan, buruh pabrik, atau pun tukang becak.
    Dalam hampir semua komunitas desa, semua anggota pamong desa dan para guru desa, pasti memiiki tanah sawah dan tegalan. Sebagian dari tanah itu mereka sewakan, mereka dibagi-hasilkan, atau mereka gadaikan kepada petani lainnya, tetapi sebagian lagi selalu mereka kerjakan sendiri.  Dengan demikian mereka lebih seringg berada di sawah atau tegalan mereka daripada di belakang meja tulis atau ruang kelas. Meskipun demikian mereka lebih senang mengidentifikasi dirinya sebagai pegawai pamong praja karena dalam kebudayaan Indonesia pada umumnya, dan kebudayaan petani Jawa pada khususnya, menjadi pegawai membuatnya lebih gengsi daripada menjadi petani.
    Desa-desa di Jawa yang ada di sepanjang jalan-jalan raya dekat pabrik-pabrik pusat industri atau dekat kota-kota kecil atau besar, biasanya  kurang-lebih  terpengaruh oleh gaya hidup kota. Banyak penduduk desa dengan lokasi seperti tersebut di atas itu memiliki atau berhasrat  memiliki rumah gaya kota, lengkap dengan lantai tegel atau setidak-tidaknya lantai semen, jendela kaca, atap seng atau genting dan perabot rumah seperti yang dimiliki orang kota. Kecuali mereka sudah merasakan perlunya memiliki radio transistor, sepeda motor, dan sekarang malahan juga pesawat televisi. Gaya hidup seperti itu telah menumbuhkan kebutuhan akan keahlian spesiasasi tertentu, seperti tukang kayu, tukang batu, montir sepeda motor, montir radio dan TV dsb. Menjadi tukang di dalam komunitas desa di Jawa tidak merupakan hal yang dipandang rendah. Sejak dahulu kala seorang pandai basi misalnya, dianggap sebagai seorang tokoh masyarakat yang sangat terhormat, bahkan seringgkali dianggap memiliki sifat-sifat keramat.

    Mobilitas Geografis
    Pola-pola, mata pencaharian dan aktivitas pekerjaan di luar sektor pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa. Hal ini telah dilukiskan dalam suatu laporan penelitian mengenai kehidupan komunitas-komunitas desa sekitar Jakarta (Koentjaraningrat 1975), yang juga termuat dalam bagian ke III dari buku bunga rampai ini. Dalam bagian yang khusus memuat karangan-karangan mengenai migrasi, transmigrasi dan urbanisasi itu, masalah mobilitas geografikal dari pendu­duk komunitas desa di Indonesia akan dibahas lebih mendalam.

    KOMUNITAS DESA DAN DUNIA DI LUAR DESA
    Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari daerah Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu. Banyak di antaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini. Dengan demikian, juga karena makin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi, pada waktu sekarang ini hampir tidak ada lagi komunitas desa bersahaja yang terisolasi di negara kita ini, yaitu desa dengan penduduk yang tidak sadar akan adanya dunia di luar desa itu. Dalam pada itu terhadap banyak komunitas desa di Indonesia kita dapat menerapkan konsep Redfield mengenai masyarakat petani yang warganya berupa ” . . . . orang pedesaan, bagian dari peradaban-peradaban kuno, …. yang menggarap tanah mereka sebagai mata pencaharian hidup dan sebagai suatu cara hidup tradisional. Mereka itu berorientasi terhadap serta terpengaruh oleh suatu golongan priyayi di kota-kota dengan cara hidup yang sama seperti mereka walaupun dalam bentuk yang lebih beradab.”[15]
    Walaupun  demikian   kesadaran  akan  adanya  suatu dunia luas di luar komunitas desa sendiri perlu dianalisa, lepas dari jangkauan hubungan dari para petani pedesaan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu di dunia luar itu tadi, sedangkan kesadaran tadi itu juga belum berarti bahwa para petani pedesaan itu juga mempunyai perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar itu. Seorang petani pedesaan tertentu mungkin mempunyai kesadaran akan adanya suatu dunia yang luas di luar batas komunitasnya sendiri; ia malahan mungkin mempunyai perhatian serta pengertian besar mengenai beberapa masalah yang ada di dunia luar tadi, padahal ruang lingkup hubungannya dengan individu-individu atau kelompok-kelompok di kota terbatas sekali. Sebaliknya, seorang petani tetangganya, walaupun juga memiliki kesadaran tadi, mungkin saja tidak mempunyai perhatian banyak serta penger­tian mengenai dunia di luar desanya, meskipun ia mungkin mengenal banyak orang di kota, bahkan di beberapa kota lain yang jauh letaknya.
    Pada hemat saya, suatu konsep yang sangat cocok untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan mengenai dunia di luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya  di   sana, adalah konsep  yang dikembangkan oleh ahli antropologi-sosial J.A. Barnes mengenai “lapangan lapangan sosial” atau social fields (1954). Menurut konsep   itu, petani desa pun dalam  kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam “lapangan-lapangan sosial” yang berbeda-beda, menurut keadaannya yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosialnya dalam “lapangan hidup” pertanian. Dalam hubungan sosial ini termasuk kerabatnya yang terdekat, tetangganya,   kenalan-kenalannya yang memiliki  tanah pertanian dekat pada tanah pertaniannya sendiri, penduduk dukuh-dukuh lain yang juga menjadi anggota organisasi   irigasi subak yang sama, para  pemilik tanah yang tanahnya sedang digarap atas dasar bagi-hasil, dan para buruh tani yang berasal dari desa-desa lain pada musim panen.
    Banyak di antara para petani mempunyai mata pencaharian tambahan sebagai penjaja buah-buahan atau sayur-mayur, atau menjadi pedagang barang kerajinan tangan atau kebutuhan rumah tangga di pasar. Kecuali kaum kerabatnya, tetangga-tetangganya, dan teman-temannya, para petani dari golongan ini juga mempunyai hubungan dalam lapangan sosial para pembelinya dan langganannya, yang biasanya berasal dari desa lain, atau dengan para tengkulak yang memang mungkin berasal dari desanya sendiri, tetapi lebih lazim dari desa dan bahkan kota lain.
    Para petani yang dalam bulan-bulan sewaktu kesibukan produksi pertanian sedang menurun, seringkali pergi merantau secara musiman untuk bekerja menjadi buruh pekerjaan umum dalam proyek-proyek pemugaran atau pembangunan jalan raya, jembatan, bendungan serta saluran irigasi, atau untuk menjadi buruh bangunan dalam proyek-proyek penamahan di kota-kota, atau menjadi tukang becak di kota-kota. Mereka ini biasanya mempunyai hubungan yang lebih ekstensif lagi, dan yang melingkupi lapangan-lapangan sosial yang lebih luas.
    Dengan mempergunakan konsep “lapangan sosial” sebagai jaringan-jaringan hubungan para petani pedesaan, seorang peneliti dengan demikian dapat membuat suatu deskripsi kongkrit secara kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan-lapangan sosial para petani yang berdasarkan sifat, ruang lingkup, intensitas, serta frekuensi dari hubungan-hubungannya.
    Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan oleh sifat dari “lapangan sosial” yang menjadi lapangan hidup serta lapangan orientasi mereka. Dalam tahun 50-an, ketika G.W. Skinner dan beberapa ahli antropologi Amerika meneliti daerah pedesaan di beberapa tempat di Indonesia, dan berdasarkan observasi mereka telah menulis karangan-karangan mengenai Local, Ethnic and National Loyaltiesdn Village Indonesia (1959), ternyata bahwa loyalitas orang desa di negeri kita masih sangat terorientasi terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok dalam lingkungan masyarakat desanya sendiri. Data yang diajukan dalam karangan-karangan tersebut memang menunjukkan bahwa ruang lingkup pola-pola “lapangan sosial” para petani Indonesia waktu itu rupa-rupanya masih terbatas kepada lingkungan lokal, dan perhatian para petani terhadap masalah-masalah nasional belum berkembang. Jika para ahli antropologi tadi mengadakan pengamatan mereka sekarang, dalam dasawarsa 70-an ini, mereka mungkin akan melihat bahwa per­hatian terhadap masalah-masalah di luar lokalitas desa mereka sudah banyak, dan karena itu pola-pola “lapangan sosial” orang desa sudah mempunyai ruang-lingkup yang jauh lebih luas. Sebaliknya, masalah apakah loyalitas nasional para petani di berbagai daerah pedesaan di Indonesia juga sudah berkembang adalah hal yang memang masih perlu diteliti lebih mendalam.
    Loyalitas etnik adalah masalah yang lain lagi. Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat desa itu. Dengan demikian, dalam masyarakat desa seperti yang juga akan diuraikan pada halaman lain, hubungan antara suku-bangsa jarang menimbulkan masalah. Hanya dalam masyarakat kota, di mana bermukim berbagai suku-bangsa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, untuk bersaing dalam memperoleh kesempatan pendidikan, kerja dan politik, maka masalah hubungan antar suku bangsa itu timbul.
    Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masya­rakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan “lapangan-lapangan sosial” dengan ruang-lingkup lokal. Dengan demikian kecenderungan orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat terjaga. Juga usaha pengembangan loyalitas nasional pada penduduk desa di Indonesia sebaiknya merupakan usaha pengem­bangan lebih lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah lokal. Dalam hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas lokal.


    BIBLIOGRAFI
    Adam, L.
    1924   De Autonomie van het Indonesische Corp. Amersfoort, S.W. Melchior (Dissertasi Universitas Leiden).

    Adiwilaga
    1954   Land Tenure in the Village ofTjipagalo. Bandung, Kantor Perantjang Tata Bumi

    Barnes, J.A.
    1954   Class and Committees in a Norwegian Island Parish. Human Relations, VII, him. 39-58.

    Bennet, D.C.
    1957   Population Pressure in East Java. Syracuse, N.Y. (Naskah ketik dissertasi untuk Universitas Syracuse).

    Birowo, A.T.
    1973   Aspek Kesempatan Kerja Dalam Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Prisma, II-4: him. 3-15.

    Collier, W.L.
    1979   Policy Implications of Declining Labor Absorption in Javanese Rice Production. Kuala Lumpur (Makalah untuk Southeast Asia’s Third Biennial Meeting of the Agricultural Economic Society).

    Collier, W.L., Gunawan Wiradi, dan Soentoro
    1973   Recent Changes in Rice Harvesting Methods. Bulletin of Indonesian Economic Studies, IX: him. 36-45.

    Collier, W.L., Soentoro, Gunawan Wiradi, dan Makali
    1974   Agricultural Technology and Institutional Change: An Example in Java. Food Research Institute Studies in Agricultural Economics, Trade and Development, Stanford University.

    Dam, H. ten
    1956 Coopereren Vanuit het Gezichtspunt der Desastructuur in Desa Tjibodas, Indo­nesian, IX: him. 89-116. Terjemahannya dalam bahasa Inggeris dengan judul “Cooperation and Social Structure in the Village of Tjibodas” diterbitkan dalam Indonesian Economics. The Hague, W. van Hoeve. Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars, VI. him. 345-382.

    Djojopranoto, R. Ng. A.,
    1958   Persaingan Tanaman Perdagangan di Daerah Surakarta Dan Sekitarnja. Chusus-nja Daerah Klaten. Teknik Pertanian, XI-12: him. 517.


    Guritno Pandam .
    1958  Masjarakat Marangan. Jogyakarta, Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada (Naskah roneo).

    Harts-Broekhuis, A., dan H.Palte-Gooszen
    1977    Demografische Aspekten van Armoede in een Javaans Dorp, Jambidan, D.I.Y. Utrecht, Geografisch Instituut Rijksuniversiteit te Utreecht.

    Jay, R.R.
    1969   Javanese   Villagers:  Social Relations in Rural Modjohuto.  Cambridge, Mass., The M.I.T. Press.

    Kasniyah, N.
    1978    Pengaruh Mesin Penggiling Padi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Wanita Buruh Tumbuk Padi. Masyarakat Indonesia, V/2: halaman 161-172.

    King, D.Y.
    1973    Social Development in Indonesia: A Macro Analysis. Jakarta, Biro Pusat Statis­tic
    Koentjaraningrat
    1961 Some Social-Anthropological Observations on Gotong-Royong Practices in Two Villages of Central Java. Ithaca, N.Y. Cornell University Modern Indonesia Project. Monograph Series.
    1967    Tjelapar: A Village in South Central Java, Villages in Indonesia. Koentjaraning­rat editor. Ithaca, N.Y., Cornell Univesity Press.
    1974        Non-Farming Occupations in Village Communities. Masyarakat Indonesia, I: him. 45-61.
    1975        Anthropology in Indonesia: A Bibliographical Review. ‘sGravenhage, Martinus Nijhooff.
    1977   Sistem Gotong Royong Dan Jiwa Gotong Royong. Berita Antropologi   IX/30: him. 4-16.

    Kolff, G.H. van der
    1937   De Historische Ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een Afgelegen Streek op Java: Voorlopige Resultaten van Plaatselijk Onderzoek, Volkskredietwezen: hlm. 3-70.
    Kuntowijoyo
    1971   Economic and Religious Attitudes of Entrepreneurs in a Village Industry: Notes on the Community of Batur. Translate by N. Nakamura. Indonesia, XII: hlm. 47-55.

    Muijzenberg, D.D. van den
    1976        Involution or Evolution in Central Luzon, Cultural Anthropology in the Nether­lands. P. Kloos, HJ.M. Claessens editors. Rotterdam, Nederlandsche Sociolo-gische en Antropologische Verenjging. Afdeling Culturele Antropologie/Niet-Westersche Sociologie.

    Penny, D.H., M. Singarimbun
    1973    Population   and Poverty in Rural Java: Some Economic Arithmatic From Shihardjo, Ithaca, N.Y.: Dept. of Agricultural Economics, Cornell University.

    Redield, R.
    1956 Peasant Society and Culture, Chicago: Chicago University Press.

    Roll, W.
    1977        Die Agrarische Grndbezit Vergassung uin Raume Surakarta: Untersuchungen zur Agrar und Sozial-struktur Zentral-Javas, Website Institut fur. Asienkunde, Hamburg.

    Skinner, G.W. (editor)           
    1959   Local, Ethnic and National Loyalties in Village Indonesia: A Symposium, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.

    Soemardjo Hadiwidnjo
    1950   Desa Tjandi, Kelurahan Purwobmangun. Jogyakarta. Panitya Social Research, Universitas Gadjah Mada (Naskah roneo).
    Terra, G.J.A
    1952   Tuinbouw in Indonesia ‘sGravenhage: W. van Hoeve
    1932-a De Voeding der Bevolking en de Erfcultuur, Kolomale Studien, XVI. hlm. 593.

    Tiken, J.
    1976.   Guru Desa  Een Sociologisch-Anthropologische Benadering van de Sociale Posi-tie van Onderwijzend Personeel en Zijn Rol in de Dorpssamenleving van Midden-java   Amsterdam: Universiteit van Amsterdam (Naskah skripsi Sarana Universitas Amsterdam).

    Timmer, M.
    1961    Chld Mortality  and Population Pressure in D.I. Jogyakarta, Java, Indonesia. Rotterdam: Bronder Offset.

    Vries, E. de
    1927    On twikkling van de Erfucltuur, De Indische Culturen … : hlm. 496-656.

    White, B.
    1973    Peranan Anak Dalam Ekonomi Desa, Prisma, II-4: hlm. 44-59
    1985    The Economic Importance of Children in Jaanese Village, Population and Social Organization, Moni Nag editor. The Hague. Mouton.
    1976    Production and Reproduction in a Javanese Village, New York (Dissertasi Ph.D. Antropologi, Universitas coulombia).
    1976    Problems of Estimating the Value of Work in Peasant Houshold Economics: An Example from Rural Java. Bogor (Naskah roneo).


    [1] Angka-angka itu saya kutip dari karangan A.T. Birowo (1973 : Tabel I). Dalam sebuah karangan L. Adam dari tahun 1924, tercantum keterangan bahwa di Jawa dan Madura pada waktu itu ada 23.024 buah desa, walaupun pengarang itu juga mencantumkan dua buah angka statistik desa lain, yaitu 22.000 dan 21.800 untuk tahun 1923 (Adam 1924 him. 10).
    [2] Suatu studi yang luas mengenai pertanian pekarangan ini pernah dilaku­kan oleh ahli-ahli pertanian Belanda E. de Vries (1927) dan GJ.A. Terra (1932; 1932-a).

    [3] Dalam bukunya The History of Java (1830: 1, him. 134) misalnya, Raffles menyatakan bahwa sudah dalam tahun 1817 “in the more populous parts of Java … Where the sawahs do not afford sufficient supply of rice,” jagung menjadi tanaman utama. Singkong katanya tersebar di Jawa baru setelah kira-kira tahun 1850. Mengenai hal ini lihatlah karangan A.J. Koens, dalam buku De Landbouw in den Indischen Archipel redaksi C.J.J. Hall dan C. van de Kop-pel (1946: HA, him. 163-240).
    [4] Deskripsi mengenai sistem tebasan terdapat dalam karangan Collier, Gunawan Wiradi dan Soentoro (1973) dan karangan Collier, Soentoro, Gunawan Wiradi dan Makali (1974). Sebenarnya sistem tebasan bukan suatu sistem memo-tong padi yang baru. Dalam tahun 1911 telah ada suatu deskripsi mengenai sistem itu dalam buku berkala Adatrechtbundeh (1911: II, him. 128-130, 248).
    [5] Menurut cara adat, seorang petani Jawa sebenarnya harus memakai ani-ani, yaitu pisau kecil yang hanya dapat memotong padi setangkai demi setangkai.

    [6] Seorang ahli antropologi, dosen Universitas Gadjah Mada, peman meneliti dan menulis tentang masalah pengaruh mesin penggiling padi terhadap kehidupan sosial ekonomi para wanita buruh penumbuk padi tadi (Kasniyah 1978: him. 161-172).
    [7] Suatu penelitian yang penting sekali mengenai hal itu, yang sering dikutip ahli-ahli dan peneliti-peneliti lain adalah penelitian oleh ahli pertanian Belanda H. ten Dam, di desa Cibodas, Bogor (Dam 1956). Penelitian lain adalah oleh ahli pertanian Adiwilaga di desa Cipagalo dekat Bandung (1954). Ten Dam melaporkan bahwa sudah sebelum Perang Dunia II, 44 persen dari keluarga-keluarga petani di desa Cibodas tak memiliki tanah, hanya 25 persen memiliki tanah pekarangan, sedangkan 23 persen memiliki tanah kering dari ukuran kurang dari satu hektar (Dam 1956: hlm. 91-92). Hal itu berarti bahwa semua tanah yang baik menjadi milik dari hanya 8 persen dari jumlah petani.

    [8] Lihat misalnya laporan penelitian oleh Soemardjo Hadiwignjo mengenai masalah pengangguran terselubung di daerah pedesaan dekat Yogya (1950); la­poran penelitian D.C. Bennet mengenai tekanan penduduk di tiga desa di Jawa Timur dan pengaruhnya terhadap keadaan gizi dalam makanan, pengangguran dalam pertanian untuk ekspor di Klaten (1958); laporan penelitian Pandam Guritmo mengenai penelitiannya di Marangan dekat Yogyakarta (1958); karang­an P. Jay mengenai penelitian antropologinya di Tamansari dekat Pare, Jawa Ti­mur (1969: him 262-267); laporan penelitian  M. Timmer mengenai tekanan pen­duduk di daerah pedesaan dekat Yogyakarta (1961); dan buku W. Roll mengenai masalah milik tanah di Klaten (1976) : him. 55-61). Karangan saya sendiri mengenai adat gotong-royong di dua desa di Bagelen, Jawa Tengah, juga mengandung beberapa keterangan mengenai fragmentasi tanah garapan ini (Koentjaraningrat 1961: him. 21; 1967: him. 250-151). Di antara 1145 penduduk desa Celapar di daerah pegunungan di Bagellen, hanya 259 memiliki tanah. Sebagian besar memiliki antara satu sampai dua setengah hektar tanah kering (tegalan), ditambah dengan 0,2 sampai 1,5 hektar tanah sawah. Hanya 22 orang saja memiliki tanah tegalan sekitar 2,5 hektar, dan hanya tujuh orang memiliki tanah sawah seluas 1,5″ hektar. Mereka membagi-bagi tanahnya kepada tiga sampai lima petani penggarap berdasarkan sewa tanah atau bagi-hasil, dan beberapa yang me­miliki 2,5 hektar malahan ada yang membagi-bagi tanahnya kepada sebanyak sepuluh orang petani.
    [9] Geertz mengatakan: “. . . inward over elatoration of detail.” (1963: him. 82).

    [10] Sebuah daftar dari sejumlah tinjauan buku terhadap buku Geertz ter­maktub dalam buku saya mengenai ilmu antropologi di Indonesia (Koentjaraningrat 1975: him. 202).
    [11] Karangan itu juga disebut oleh W.L. Collier dalam karangan mengenai turunnya penggunaan tenaga kerja dalam produksi bercocok-tanam di sawah (Collier 1979).
    [12] Khusus mengenai penghasilan petani dari sumber-sumber lain di luar pertanian, lihat karangan saya (Koentjaraningrat 1974).

    [13] Mengenai berbagai kegiatan dan usaha wanita dalam rumah tangga wanita di Jawa, lihat misalnya karangan A. Staler dalam majalah Masyarakat Indonesia (1975; 1977).
    [14] Mengenai masalah arti ekonomi anak dalam rumah-tangga petani di Jawa,  lihat   disertasi   serta   karangan-karangan   B.   White   (1973;   1975;   1976;
    1976-a) dan him. 144-166 di bawah.


    [15] Redfield raengatakan: ” … rural people in old civilizations, who control and cultivate their land for subsistence and as part of a traditional way of life and who look to and are influenced by gentry or townspeople whose way of life is like theirs but in a more civilized form. ” (1956: him. 20).

  • KOMUNITAS

    Date: 2012.06.15 | Category: info | Response: 0
    TUGAS !
    1. 1.      Komunitas
    • Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain yang lebih dari yang seharusnya dan diantaranya terjadi relasi yang sangat erat karena adanya kesamaan interest.
    • Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”.
    • Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002). Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya.
    • Komunitas adalah kelompok organisme (orang dsb) yg hidup dan saling berinteraksi di dl daerah tertentu; masyarakat; paguyuban;  desa Antr komunitas yg bersifat kedesa-desaan;  hutan bakau komunitas yg hidup di hutan bakau di daerah pantai;  kota Antr komunitas yg bersifat kekota-kotaan;  sastra kelompok atau kumpulan orang yg meminati dan berkecimpung dl bidang sastra; masyarakat sastra.

    1. 2.      Unsur- unsur komunitas
    • Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak, beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan Batas yang merupakan lingkungan geografis setempat.
    • Penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat.
    • Tata kehidupan, dalam hal ini pola pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).
    • Letak suatu desa pada umumnya selalu jauh dari kota atau dari pusat pusat keramaian. Peninjauan ke desa-desa atau perjalanan ke desa sama artinya dengan menjahui kehidupan di kota dan lebih mendekati daerah-daerah yang monoton dan sunyi. Desa-desa yang pada perbatasan kota mempunyai kemampuan berkembang yang lebih banyak dari pada desa-desa di pedalaman.
    1. 3.      Ciri- ciri komunitas desa
    Adapun ciri yang menonjol pada masyarakat desa antara lain pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam) anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat penduduknya sedikit perbedaan penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat.
    1. Lingkungan dan Orientasi Terhadap Alam
    Desa berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis di daerah desa petani, realitas alam ini sangat vital menunjang kehidupannya. Kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan falsafah hidupnya menentukan.
    2. Dalam Segi Pekerjaan/Mata Pencaharian
    Umumnya mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani, sedangkan mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder sebagian besar penduduknya bertani.
    3. Ukuran Komunitas
    Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dan daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah kilo meter perseginya.
    4. Kepadatan Penduduknya
    Kepadatan penduduknya lebih rendah, biasanya kelompok perumahan yang dikelilingi oleh tanah pertanian udaranya yang segar, bentuk interaksi sosial dalam kelompok sosial menyebabkan orang tidak terisolasi.
    5. Diferensiasi Sosial
    Pada masyarakat desa yang homogenitas, derajat diferensiasi atau perbedaan sosial relatif lebih rendah.
    6. Pelapisan Sosial
    Masyarakat desa kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah tidak terlalu besar.
    7. Pengawasan Sosial
    Masyarakat desa pengawasan sosial pribadi dan ramah tamah disamping itu kesadaran untuk mentaati norma yang berlaku sebagai alat pengawasan sosial.
    8. Pola Kepemimpinan
    Menentukan kepemimpinan di daerah cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.

  • Makalah Besar Sosper

    Date: 2012.06.11 | Category: Uncategorized | Response: 0
    BAB I
    PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang
    Usaha pertanian merupakan upaya untuk peningkatan hasil produksi pertanian dalam rangka peningkatan ketahanan pangan. Usaha peningkatan pangan yang terbesar adalah usaha dari petani terutama yang hidup dalam perdesaan. Dalam perkembangannya pertanian mengalami perkembangan secara bertahap baik dari yang tradisional sampai yang modern. Pada dahulu pertanian yang tradisional menggunakan peralatan yang masih sederhana. Sedangkan pada peertanian yang modern yaitu pertanian yang sudah berkembang dan salah satu cirinya yaitu menggunakan peralatan yang sudah modern.
    Pada dasarnya pertanian memiliki kebudayaan atau kebiasaan yang  berbeda antar daerah satu dengan derah yang lain yang berkembang seiring berjalannya waktu. Kebudayaan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan teknologi yang tersedia dalam masyarakat. Dari perbedaan kebudayaan tersebut kemudian muncul stratifikasi atau tingkatan-tingkatan peran dalam masyarakat pertanian. Stratifikasi tersebut membedakan peran masing anggota masyarakat sesuai dengan kelas-kelas yang ada. Sehingga dengan adanya stratifikasi dibentuklah kelembagaan yang mengatur masing-masing peran dalam stratifikasinya. Beberapa kelembagaan yang terbentuk untuk menyatukan kelembagaan dan masyarakat petani untuk saling berkomunikasi demi berjalannya pertanian yang sehat.
    Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana perkembangan saat ini pada pertanian desa perlu diadakan praktikum sosiologi pertanian dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman aspek-aspek  sosiologis pada tingkat petani dan tingkat desa yang meliputi segi kebudayaan, stratifikasi sosial, kelembagaan, dan jaringan sosial .

    1.2 Rumusan Masalah
    1. Bagaimanakah kondisi keluarga dan status sosial petani di daerah tersebut?
    2. Bagaimanakah budaya pertanian di daerah tersebut?
    3. Apa sajakah perubahan sosial yang terjadi didaerah pertanian tersebut?
    4. Bagaimanakah pengadaan sarana produksi pertanian di daerah tersebut?
    5. Bagaimanakah cara petani di daerah tersebut memasarkan hasil pertaniannya?
    1.3 Manfaat
    1. Dapat mengetahui bagaimana kondisi dan setatus sosial para petani di daerah tersebut
    2. Dapat mengetahui bagaimanakah budaya pertanian yang diterapkan di daerah tersebut
    3. Dapat mengetahui sejauh manakah perubahan sosial yang terjadi di daerah pertanian tersebut
    4. Dapat mengetahui bagaimana pengadaan sarana produksi pertanian yang tersedia didaerah tersebut
    5. Dapat mengetahui bagaimana cara petani di daerah tersebut memasarkan hasil pertaniannya








    BAB II
    ASPEK SOSIOLOGIS PETANI
    2.1 Deskripsi Keluarga dan Usahatani Bapak Miseri
    2.1.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Petani tersebut bernama bapak Miseri yang berumur 47 tahun. Beliau bertempat tinggal di dusun Ngragen desa Sumber Pasir RT.19. beliau menyelesaikan pendidikan sampai sekolah dasar(SD) kelas 3 di karenakan terdapat kendala keuangan dalam keluarganya. Pak Miseri mempunyai pekerjaan sebagai seorang petani sejak beliau masih kecil tanpa pekerjaan sampingan lainnya. Keluarga pak Miseri beranggotakan 4 orang, yaitu dengan seorang istri dan dua orang anak perempuannya.
    2.1.2 Status Sosial Ekonomi Keluarga Petani
    Status sosial itu sendiri adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.Hal ini bisa dilihat dari lokasi tinggal dimana yang golongan tinggi di daerah kompleks, yang menengah di sekitar jalan  dan yang golongan bawah menyebar di dekat sungai atau rel kereta. Masalah ini sendiri sebenarnya cukup menjadi masalah karena dengan terjadinya hal seperti ini menyebabkan mereka tidak berinteraksi atau memahami satu sama lain sehingga terjadi perbedaan jenjang sosial.(Rahardjo, 1999)
    Dalam kegiatan ekonomi, bapak Miseri mengandalkan dari hasil pertanian. Sejak 10 tahun yang lalu beliau menggarap lahan sawah milik bibinya dengan menerapkan sistem bagi hasil(maro) dengan luas lahan sekitar 3000 m2. Bapak Miseri mempunyai pekerjaan utama sebagai seorang petani tanpa mempunyai pekerjaan sampingan sebagai peternak atau yang lainnya. Keluarga tersebut memiliki 1 sepeda ontel dan 1 sepeda motor, selain itu keluarga tersebut juga memiliki 1 TV, 1 radio dan 2 HP. Keluarga tersebut bertempat tinggal di sebuah rumah dengan luas bangunan sekitar 77 m2 berlantai keramik, berdinding tembok dengan atap rumah berupa genteng. Dilihat dari keadaan ekonomi dan kondisi tempat tinggal, petani tersebut dapat dikatakan sebagai petani yang cukup sukses. Karena dapat dibandingkan dengan rumah penduduk disekitarnya, rumah petani tersebut termasuk rumah yang cukup layak dan bagus menjadi tempat tinggal seorang petani.
    2.1.3 Kebudayaan Petani
    Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang dilakukan oleh seseorang petani tentang bagaimana cara bercocok tanam dan pengetahuan tentang cara bercocok tanam. Sedangkan menurut leteratur, kebudayaan adalah suatu hasil karya cipta manusia yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, hukum dan kemampuan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (Soemarjan, 1964)
    Menurut bapak Miseri pola tanam yang diterapkan pada lahan sawahnya adalah berdasarkan iklim, jika musim penghujan beliau akan menanam padi dan pada musim kemarau beliau akan menanam palawija seperti jagung dan kacang tanah. Pada setahun terakhir ini, sawah garapan bapak Miseri ditanami berbagai komoditas, di antaranya pada bulan September sampai Desember sawah tersebut ditanami padi, pada bulan Januari sampai April sawah tersebut ditanami jagung kemudian pada bulan Mei sampai sekarang sawah tersebut masih ditanami kacang tanah. Menurut bapak Miseri pada zaman dahulu para petani dapat memperkirakan pola tanam dengan menghitung bulan, misalnya pada bulan September sampai April itu adalah musim penghujan, sehingga mereka akan mempersiapkan untuk menanam padi dan pada bulan April sampai Agustus itu adalah musim kemarau  sehingga mereka akan mempersiapakn untuk menanam palawija. Namun pada tahun tahun ini mereka tidak dapat menentukan pola bercocok tanam dengan menghitung bukan seperti apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, hal ini dikarenakan akhir akhir ini musim tidak adapat diprediksi dengan baik. Biasanya seharusnya sudah musim penghujan tapi ternyata masih musim kemarau panjang atau sebaliknya.
    Berdasarkan keterangan yang telah diperoleh dari bapak miseri, beliau masih mengguanakan sistem pertanian tradisional, misalnya dalam hal membajak sawah beliau masih menggunakan bajak yang menggunakan tenaga hewan seperti sapi ataupun kerbau, dalam hal penyiangan pun beliau tetap menggnakan tangan ataupun gasrok, begitu juga dalam hal pemanenan  misalnya dalam pemanenan padi beliau masih menggunakan gepyok, menurut bapak miseri untuk menyewa mesin perontok padi membutuhkan biaya yang mahal. Sebagai contoh cara budidaya beliau, berikut adalah cara budidaya padi yang telah beliau terapkan:  pertama tama yang harus disiapkan adalah benih yang akan digunakan, pada lahan beliau menggunakan varietas IR 64, untuk 1 hektar lsawah biasanya menggunakan benih sekitar 30 kg per hektar, kemudian siapkan tempat persemaian. Kemudian sebar benih padi pada persemaian . umur bibit padi yang siap digunakan adalah bibit padi dengan umur sekitar 25 hari. Sebelum pananaman bibit padi sawah tersebut diolah dengan menggunakan bajak dan garu secara tradisional. Penanaman bibit padi dilakukan secara tradisional dengan sekitar 3-5 bibit padi per lubang tanam dengan jarak tanam sekitar 25cm x 25cm. Untuk pemeliharaan tanaman padi hal-hal yang dilakukan oleh bapak miseri adalah melakukan penyiangan setiap kali sawah tersebut tumbuh gulma, penyiangan tersebut dilakukan dengan menggunakan tangan ataupun gasrok. Kemudian melakukan pemupukan. Petani tersebut biasa menggunakan pupuk kimia yaitu pupuk urea dan ZA. Dosis yang digunakan untuk penggunaan pupuk tersebut adalah sekitar 50kg urea dan 50kg ZA. Pemupukan biasa dilakukan 2 kali, yaitu ketika padi setelah tanam dan ketika padi sekitar berumur 30 hari. Pengairan yang diterapkan pada saat menanam padi adalah dengan pengairan tradisional yaitu mengalirkan air irigasi langsung dari sungai. Pada lahan sawahnya dibuat parit-parit untuk mengalirkan air sungai ke sawahnya. Beliau tidak pernah menggunakan mesin diesel untuk irigasi alasannya adalah untuk menghemat biaya produksi.
    Pemanenan tanaman padi dilakukan ketika tanaman tersebut sudah mulai terlihat menguning atau ketika tanaman sudah berumur sekitar 4 bulan. Pemanenan tersebut dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan gapyok. Petani tersebut tatap memanen padi dengan mengunakan alat tradisional dikarenakan harga sewa alat perontok padi cukup mahal didaerah tersebut. Setelah dipanen, padi yang sudah dirontokkan dijemur sampai kering, kemudian hasil dari panenan tersebut akan disimpan untuk konsumsi sendiri sebagai bahan pangan sampai musim tanam berikutnya. Kecuali apabila sawah tersebut ditanami jagung atau kacang tanah, hasil dari panenan akan dijual kepada pedagang ataupun peternak ayam.
    Menurut petani tersebut, pada saat penanaman tanaman padi tersebut, hama yang biasa muncul adalah belalang dan untuk mengendalikan hama tersebut petani biasa menggunakan pestisida kimia seperti Desis atau Urakron dengan dosis 2 tutup per tangki.
    Menurut petani tersebut, beliau mendapat pengetahuan cara bercocok tanam dari keluarganya/orang tuanya terdahulu karena beliau biasa membantu oarang tuanya untuk bertani disawah. Petani tersebut biasa melihat cara bercocok tanam orang tuanya, sehingga petani tersebut juga menerapkan cara bercocok tanam dari orang tuanya itu pada lahan sawahnya.
    Berikut adalah diagram alir dari cara bercocok tanam yanag diterapkan oleh petani tersebut:











































































    Berikut adalah tabel alur pola tanam dari petani tersebut:
    bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    tanaman jagung Kacang tanah padi


    2.1.4 Perubahan Sosial Budaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi setruktur masyarakat lainnya.  Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertatahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. (Soekanto, 1990)
    Menurut keterangan dari bapak Miseri, dahulu beliau menggunakan pupuk kandang untuk sawahnya, namun setelah tahun 1970 an beliau beralih menggunakan pupuk kimia karena di anggap lebih mudah didapat dan reaksi terhadap tanaman lebih cepat bisa terlihat. Meskipun pada saat ini harga pupuk kimia terus meningkat namun petani tersebut tetap menggunakannya karena dianggap pupuk kimia lebih praktis digunakan. Karena reaksi yang cepat pada tanaman itulah yang membuat petani tersebut terus mennggunakan bahan-bahan kimia untuk bercocok tanam sehingga mereka ketergantungan untuk menggunakan bahan kimia tersebut pada lahannya. Petani tersebut tidak mengetahui dampak dari penggunaan bahan kimia secara terus menerus, baik dampak terhadap lingkungan maupun dampak terhadap tanaman budidaya itu sendiri.

    2.1.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Pengadaan Sarana Produksi , Tenaga Kerja dan Pemasaran Hasil Pertanian
    Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya. (Susanto, 1983)
    Sawah yang digarap oleh bapak Miseri saat ini adalah sawah milik bibinya, beliau menggarap sawah tersebut dengan sistem bagi hasil (maro). Bibinya tersebut hanya menyediakan lahan dan menyerahkan semua hal yang berhubungan dengan bercocok tanam pada bapak Miseri seperti benih/bibit, pupuk, pengairan ataupun pestisida yang digunakan.
    Benih/bibit yang digunakan oleh petani tersebut adalah bibit yang diperoleh dengan membeli dari kios ataupun toko pertanian, begitu juga dengan pestisida dan pupuknya. Petani tersebut biasa menggunakan pupuk kimia yaitu Urea dan ZA. Beliau biasanya membeli pupuk Urea sebanyak 50kg dan ZA 50kg untuk digunakan pada sawahnya. Sedangkan pestisida yang biasa digunakan oleh petani tersebut adalah Desis dan Urakron. Dalam sistem pengairannya, petani tersebut menerapkan sistem irigasi tradisional yaitu dengan mengalirkan air sungai pada sawahnya.  Alasan petani tersebut tidak menggunakan bantuannmesin pada setiap kegiatan bercocok tanamnya adalah karena biaya untuk menyewa mesin pertanian sangatlah mahal bagi keluarga mereka. Bahkan untuk menggarap sawah tersebut, bapak miseri tidak meminta bantuan atau tenaga kerja dari orang lain, cukup dengan bantuan dari semua anggota keluarganya meskipun sawah yang digarapnya cukup luas. Karena menurut beliau dari pada untuk memberikan upah pada pekerja, lebih baik uangnya beliau pergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
    Ketika panen, ada komoditas yang dikonsumsi sendiri dan ada komoditas yang dijual. Misalnya ketika panen padi, mereka tidak akan menjual hasil panen tersebut melainkan untuk konsumsi sendiri. Sedangkan ketika mereka panen jagung, kacang tanah atau komoditas lainnya mereka akan menjual panenan tersebut kepada pedagang atau pana para peternak ayam.
    Apabila hasil panen tersebut dijual, mereka akan meminta pedagang datang ke rumah atau sawahnya untuk melihat hasil panen mereka. Sebelum mereka menjual kepada pedagang, mereka melakukan kegiatan pasca panen seperti menjemur kemudian mengemas hasil panen tersebut ke dalam karung. Kegiatan pasca panen tersebut mereka lakukan hanya untuk beberapa komoditas seperti jagung ataupun sayuran. Sedangkan untuk kacang tanah, mereka menyerahkan semua kegiatan pasca panen pada pedagang yang akan membeli hasil panen mereka. Para pedagang yang datang ke rumahnya atau sawahnya akan membeli hasil panen mereka dengan satuan kwintal dengan harga sesuai dengan yang ada di pasaran.
    2.4.6 Kesimpulan
    Berdasarkan survei yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa petani tersebut tetap mengguanakan cara tradisional dalam kegiatan bercocok tanam mulai dari penanaman sampai pemanenan, meskipun dalam penggunaan pupuk dan pestisida mereka telah menggunakan bahan kimia. Alasan mereka menggunakan cara tradisional dalah karena biaya untuk menyewa mesin pertanian sangatlah mahal bagi keluarga mereka. Mereka menentukan pola tanam berdasarkan musim dan iklim di daerahnya. Peralihan dari pupuk dan pestisida organik ke pestisida kimia dilakukan mulai tahun 1970 an karena bagi mereka pupuk dan pestisida kimia lebih praktis digunakan dan reaksi pada tanaman dapat cepat terlihat. Petani tersebut mengolah lahan pertaniannya sendiri dengan bantuan anggota keluarganya tanpa meminta bantuan pekerja.
    Hasil pertanian dari sawah petani tersebut ada yang di jual juga ada yang dikonsumsi sendiri. Misalnya untuk komoditas pokok seperti padi, mereka tidak akan menjualnya melainkan untuk konsumsi sendiri. Sedangkan untuk komoditas seperti sayuran, jagung dan kacang tanah mereka akan menjual pada pedagang ataupun peternak.
    2.2 Deskripsi Keluarga dan Usahatani Bapak Rupi’i
    2.2.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Pada fieldtrip Sosiologi Pertanian yang dilakukan di dusun Ngrangin desa Sumber Pasir tepatnya RT 16 kita mengunjungi salah satu warga di sana untuk mengetahui kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan pertanian. Kita memilih lokasi di sana karena sebagian besar penduduk di sana bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan. Di sana kami mengunjungi dan mewawancarai salah satu warga Ngrangin yaitu bernama pak Rupi’i.
    Pak Rupi’i adalah seorang petani yang usianya sudah lebih dari setengah abad yaitu kini beliau berumur 76 tahun. Bapak yang hanya tamatan Sekolah Dasar ini memiliki 11 orang putra yang semuanya sudah berkeluarga dan kini beliau tinggal hanya berdua dengan istrinya. Penghasilan utama pak Rupi’i untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari hanyalah dari hasil bertaninya, beliau pun tak memiliki pekerjaan sampingan lain selain bertani dan mengurus hewan ternaknya. Pak Rupi’i memulai kegiatan bertaninya sejak tahun 1958 dan berangsur hingga sekarang.

    2.2.2 Status Sosial Ekonomi Keluarga Petani
    Sebagai petani, Pak Rupi’i tidak memiliki lahan sawah sendiri melainkan beliau menyewa sawah milik Pah Lurah yang beliau sewa lebih dari sepuluh sejak tahun 1998. Luas sawah yang beliau sewa yaitu seluas 600 m2 Beliau pun memiliki beberapa hewan ternak yaitu memiliki 2 ekor sapi dan 10 ekor ayam. Untuk pergi ke sawahnya yang jaraknya sekitar 3 km dari rumahnya, Pak Rupi’i tidak memiliki alat transportasi satu pun, beliau hanya  berjalan kaki untuk sampai ke sawahnya. Di rumahnya yang hanya berukuran 5×7 m yang berdindingkan tembok dan berlantaikan plesteran dengan atap genteng biasa, beliau tidak memiliki alat komunikasi selain TV dimana juga sebagai satu-satunya sarana hiburan mereka di tengah-tengah kelelahan bekerja.
    2.2.3 Kebudayaan Petani
    Pak Rupi’i biasa menanami lahan sawahnya dengan tanaman padi, jagung, cabe, tomat dan kadang kala di tanami wortel. Beliau menerapkan pola tanam monokultur karena mudah dalam perawatannya dan juga dapat fokus dalam membudidayakan tanaman. Pada musim penghujan, Pak Rupi’i biasa menanam sawahnya dengan tanaman padi dan waktu kemarau, sawahnya biasa ditanam jagung, cabe atau pun tomat, namun lebih sering ditanam jagung.
    Pak Rupi’i untuk memulai kegiatan budidayanya, beliau biasa menggunakan bajak rotary untuk mengolah tanahnya. Untuk persemaiannya, pak Rupi’i melakukan persemaian sendiri untuk tanaman padi, cabe dan tomat sedangkan untuk jagung beliau menanam benih langsung pada lahan. Jumlah benih jagung per lubang yang digunakan Pak Rupi’i yaitu 4 atau 3 biji per lubang dengan jarak tanam 30 cm ke belakang dan 70 cm ke samping sedangkan untuk padi, jarak tanam yang dipakai yaitu 20 x 20 cm dengan digenangi air. Sebelum padi ditanam, terlebih dahulu dilakukan persemaian, benih (gabah) direndam dalam air selama tiga hari tiga malam, setelah itu gabah diangkat dan benih baru disebarkan. Padi ditanam dengan jarak tanam sekitar 25 cm, dengan kondisi tanah tidak terlalu lembek ataupun terlalu keras. Dimana jumlah bibit per lubangnya antara 5, 3, dan 2.
    Pemupukan yang dilakukan Pak Rupi’i yaitu menggunakan pupuk kimia Urea, ZA dan Phonska. Beliau lebih memilih menggunakan pupuk kimia karena beliau ingin tanamannya tumbuh sehat dan langsung kelihatan dampak dari pupuk tersebut, karena sifat pupuk kimia yang mudah diserap tanaman dan berupa unsur yang sederhana. Beliau juga mengaku bahwa selama bertani beliau tidak pernah menggunakan pupuk kandang ataupu kompos karena dampaknya yang lambat terhadap tanaman dan sulit dalam penggunaannya. Untuk waktu pemupukan beliau melakukan pemupukan 2 kali selama masa tanam, yaitu pada umur sekitar 10 hari dan berumur 10 minggu setelah tanam.
    Diagram alir penanaman Padi (Oryza sativa)











    Pengolahan tanah menggunakan traktor/bajak







    Dibiarkan beberapa hari







    Pengolah tanah dengan menggunakan cangkul untuk memaksimalkan














































    Buat bedengan tanaman padi







    Pengukuran jarak tanam 20 x 20 cm















    Tunggu sampai tumbuh biji, jika ada gulma lakukan penyiangan seminggu 1x







    Pengairan menggunakan irigasi yaitu dengan parit






    Panen padi setelah umur 3 bulan 10 hari, ambil padi menggunakan sabit, lalu digebyok agar bulirya terjatuh dan kemudian dimasukkan ke dalam karung.







    Diangkut dan disimpan di tempat penggilingan gabah/selep  terdekat.













































    Jika dibandingkan dengan literatur, waktu pemupukan tersebut sudah tepat karena waktu seminggu sampai 12 minggu setelah tanam merupakan fase vegetatif dari tumbuhan, dimana tumbuhan banyak memerlukan nutrisi untuk tumbuh dan berkembangnya batang, daun dan akar. Untuk mengatasi gulma yang tumbuh di sekitar tanaman budidaya, Pak Rupi’i tidak mengalami kesulitan karena beliau selalu menyiangi rumput liar di sekitar tanaman budidayanya hampir setiap hari sekaligus sebagai pakan ternaknya. Irigasi di desa Sumber Pasir dusun Ngrangin juga tergolong baik karena terdapat sumber mata air yang cukup deras untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya.
    Dalam penanganan pasca panen biasanya Pak Rupi’i langsung membawa hasil panennya (gabah) ke selep terdekat dan menumpang untuk menjemur gabah tersebut. Setelah itu, Pak Rupi’i menggiling semua gabah tersebut dan disimpannya sebagai persediaan pangan mereka sehari-hari. Beliau mengaku tidak menjual beras ataupun padi hasil panen karena padi tersebut dikonsumsi oleh Pak Rupi’i dan istrinya selama setahun. Sedangkan hasil panen yang berupa jagung dan yang lain beliau mengatakan bahwa setengah sampai seperempat hasil panen langsung dijual, sedangkan sisanya untuk modal budidaya tanaman berikutnya serta untuk memenuhi kebutuhan Pak Rupi’i sekeluarga untuk menyambung hidup.
    Menutut (Devi, 2012), dalam mengolah lahan pertanian, Pak Rupi’i menggunakan pola bercocok tanam padi, jagung dan tanaman hortikultura (sayuran)  secara bergantian. Dalam mengolah tanah beliau juga menggunakan cangkul serta traktor untuk menggemburkan tanah, hal itu merupakan metode pertanian semi mekanis, dimana dalam proses pertaniannya menggunakan alat-alat mekanik namun tidak secara keseluruhan. Pertanian semi mekanis merupakan penggabungan atau perpaduan antara pertanian tradisional/sederhana dengan pertanian modern. Selain itu, dalam pertanian semi mekanik biasa menggunakan pupuk anorganik yang merupakan buatan pabrik





    No. Bulan Tanaman Yang di Tanam
    1. September-Desember Padi
    2. Desember-Maret Jagung
    3. Maret-Juni Jagung
    4. Juni-Agustus Tanaman Cabe atau Tomat
    Tabel pola penanaman setiap tahun

    Sebagai petani, Pak Rupi’i mengaku mendapatkan pengetahuan tentang pertanian dengan belajar dari orang tuanya dulu, yaitu sering ikut dan membantu orang tuanya di sawah. Selain itu, karena pengalaman yang dimiliki Pak Rupi’i sangat terbatas, beliau serinhg mencoba-coba merubah pola tanam. Boleh dikatakan Pak Rupi’i belajar secara otodidak yaitu belajar dari pengalamannya sendiri. Contohnya, beliau merubah pola tanam pada saat banyaknya hama tikus yang menyerang tanaman padi mereka dan menggantinya dengan menanam cabe ataupun tomat.
    Beliau juga mengaku bahwa beliau jarang atau bahkan tidak pernah mengikuti seminar-seminar yang telah dilakukan oleh pemerintah karena beliau mengatakan bahwa penghasilannya akan menurun jika menerapkan hasil penyuluhan. Selain itu, beliau juga tidak begitu lancar dalam berbahasa Indonesia sehingga pada saat ada seminar atau penyuluhan yang rata-rata menggunakan bahasa Indonesia beliau lebih memilih tidak datang dan memilih untuk berdiam di rumah atau pergi ke sawahnya, karena beliau tidak begitu mengerti apa yang disampaikan oleh pemateri. Pada saat penyuluhan, sering kali pemateri menggunakan istilah-istilah yang ilmiah yang Pak Rupi’i tidak mengerti, bukan hanya pak Rupi’i tapi mayoritas warga di sana juga tidak mengerti. Contohnya kata “pestisida”, meskipun kata tersebut tidak asing bagi kita dan sudah bukan hal yang tabu, tetapi mereka (warga Ngrangin) lebih sering menyebutnya dengan kata “Obat”. Oleh karena itu, seharusnya pemateri lebih mengetahui kondisi sosial dan budaya masyarakat sekitar pada saat penyuluhan. Hal itu karena perbedaan istilah disetiap daerah.

    2.2.4 Perubahan Sosial Budidaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Perubahan sosial budaya yang terjadi di saat ini mengenai cara bercocok tanam pada sangat sedikit. Karena mereka tetap menggunakan cara bercocok tanam nenek moyang mereka  yang diajarkan secara turun temurun. Mereka  sangat mengutamakan atau menjunjung ilmu leleuhur mereka yang di anggap baik oleh mereka. Perubahan yang terjadi yaitu mengenai kebiasaan mereka dalam menggunakan pestisida. Diantaranya yaitu pada zaman dulu biasanya nenek moyang mereka menggunakan cara fisik dan mekanik (jebakan) dalam membasmi hama dan biasa menyiangi gulma-gulma yang tumbuh, sedangkan saat ini mereka menggunakan pestisida kimia untuk membasmi serangga dan menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman mereka serta merugikan karena mempengaruhi hasil panen yang di dapatkan.
    Penggunaan pestisida inipun tak banyak dan dilakukan apabila serangan hama dan pertumbuhan gulma sangat mengganggu tanaman mereka. Kalau hanya sedikit serangannya mereka hanya melakukan pembasmian dengan cara mekanis yang tidak berefek samping pada lingkungan. Mereka juga sadar akan kelestarian lingkungan mereka, maka mereka sangat menekan penggunaan bahan kimia yang berlebihan.
    Menutut Devi (2012), dengan adanya globalisasi dan juga kecanggihan teknologi, menurut Pak Rupi’i kondisi pertanian saat ini semakin lebih maju daripada pertanian pada zaman dulu, seperti kemajuan dalam bidang teknologi dan juga kemajuan dalam pola tanam. Dengan adanya kemajuan, pertanian saat ini juga banyak mengalami kemunduran, hal ini dikarenakan perubahan musim yang tidak menentu, sehingga hama penyerang tanaman pertanian juga sukar diatasi, akibatnya menimbulkan kegagalan panen. Dan pak Rupi’i pun berpendapat bahwa tanah petanian lebih subur dan lebih produktif saat zaman dahulu daripada sekarang, karena efek samping dari penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang menyisakan residu pada lingkungan.
    2.2.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Penyediaan/Pengadaan Sarana Produksi, Tenaga Kerja, Pengolahan dan Pemasaran Hasil
    Untuk mendapatkan pupuk kimia, biasanya Pak Rupi’i membelinya dari took atau kios-kios Pertanian. Pak Rupi’i biasa membeli pupuk Urea 100 kg dan Phonska 100 kg secara kontan untuk melakukan pemupukan terhadap lahannya. Untuk kebutuhan pestisida atau herbisida selain membeli di took Pertanian juga bisa mendapatkan dari Kelompok Tani setempat yang kebetulan Pak Rupi’i juga menjadi anggotanya begitu juga untuk masalah irigasi. Jenis pestisida yang biasa dibeli yaitu jenis insektisida dan rodentisida, Karena hama yang biasa menyerang tanaman Pak Rupi’i adalah belalang, ulat dan yang berjenis serangga serta juga tikus sawah. Pak Rupi’i tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam penggunaan dosis yang tepat, beliau hanya mencampurkan 1 tutup botol obat pembasmi hama bermerek dagang Dhrosban dengan air. Kemudian menyemprotkannya ke lahan sawahnya. Hal ini terus dilakukan hingga padi siap  untuk di panen. Beliau juga mengatakan bahwa beliau belum pernah menggunakan pestisida nabati selama ini karena beliau tidak mengetahui tentang keberadaan pestisida nabati dan yang beliau tahu hanyalah pestisida kimia saja.
    Dalam masalah tenaga kerja yang dibutuhka pak Rupi’i pada saat panen dan pasca panen, beliau cukup dengan menyuruh anak, menantu dan cucunya. Sehingga tidak memerlukan pengeluaran biaya yang terlalu besar, dan menganggap usaha tani yang beliau lakukan selama ini merupakan usaha keluarga.
    2.4.6 Kesimpulan
    Dari Fieldtrip yang telah dilakukan di Dusun Ngerangin Desa Sumber Pasir RT. 16  RW.06 Kecamatan Pakis Malang, dapat disimpulkan bahwa keluarga petani yang kami wawancara yaitu pak Rupi’i  merupakan petani sederhana yang masih menggunakan pola pertanian yang tradisional. Selain itu, usaha tani yang dilakukan oleh Pak Rupi’i merupakan usaha keluarga dimana tenaga kerjanya adalah keluarga pak Rupi’i sendiri yaitu anak, cucu dan menantunya.
    2.3 Deskripsi Keluarga dan Usahatani Bapak Samar
    2.3.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Petani yang kami wawancarai bernama pak Samar, usia 61 tahun. Pendidikan formal tertinggi sekolah dasar (SD). Pekerjaan utama pak Samar adalah petani dan beliau tidak memiliki pekerjaan sampingan. Pak Samar bekerja menjadi petani sejak beliau masih muda karena orangtuanya juga bekerja sebagai petani. Jumlah anggota keluarga pak Samar berjumlah 5 orang, terdiri dari pak Samar (kepala keluarga), istri dan 3 orang anak. Ketiga orang anak pak Samar bekerja wirausaha dengan membuka bengkel di rumahnya. Keluarga pak Samar bertempat tinggal di RT 14 Dusun Ngrangin, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Pak Samar memiliki lahan sawah sewa seluas 9 ha dengan harga sewa per tahun sebesar Rp 8.000.000,00/ha. Selain itu, pak Samar juga memiliki lahan tegal seluas 0,25 ha yang merupakan warisan dari orangtua.
    2.3.2 Status Sosial Ekonomi Kelurga Petani
    Keluarga pak Samar merupakan keluarga sederhana yang tinggal di sebuah rumah berukuran 6 x 13 m2. Kondisi rumah keluarga pak Samar cukup bagus dengan dinding tembok dan lantai keramik serta genteng tanah liat. Alat komunikasi yang dimiliki keluarga pak Samar adalah satu unit televisi. Status sosial keluarga pak Samar menurut Tjondronegoro (2001) termasuk status sosial yang paling bawah karena pekerjaan utama pak Samar adalah petani penggarap sawah dan buruh tani.
    Menurut Sadikin dan Samandawai (2007) posisi pemilik tanah, terutama pemilik tanah luas, masih sangat berpengaruh dalam kegiatan produksi padi, karena pemilik tanah merupakan penguasa faktor produksi (tanah), tempat bergantungnya buruh tani. Namun demikian, pemilik tanah cukup sadar bahwa dia membutuhkan buruh tani, seperti halnya buruh tani memerlukan lapangan pekerjaan.
    2.3.3 Kebudayaan Petani
    Pak Samar melakukan kegiatan bercocok tanam di sawah dan di ladang dengan komoditi yang ditanam antara lain padi, jagung, ubi dan singkong. Pak Samar tidak pernah bercocok tanam dengan komoditi sayur dan buah-buahan. Hal ini dikarenakan kondisi topografi di lahan pak Samar yang merupakan dataran rendah dengan suhu udara yang cukup tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk ditanami komoditi sayur dan buah-buahan. Oleh karena itu, pak Samar memilih komoditi pertanian berupa tanaman yang sesuai untuk ditanam di tempat bersuhu rendah.  Pengolahan tanah sebelum ditanami menggunakan mesin traktor dan tenaga hewan (sapi). Teknik menggunakan mesin traktor dan tenaga sapi dilakukan secara bergantian sesuai kebutuhan. Jarak tanam padi yang diterapkan pak Samar yaitu seluas 20 x 20 cm. Sedangkan jarak tanam jagung yaitu seluas 30 x 70 cm. Untuk pemupukan, pak Samar menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang dan pupuk anorganik kimia berupa pupuk urea dan pupuk ZA. Pupuk urea yang digunakan sebesar 40 kg, pupuk ZA sebesar 20 kg. Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan tenaga manusia.


    Cara bercocok tanam padi :















                                                                                              




























































    Adapun komoditi yang ditanam dalam satu tahun di lahan yang digarap pak Samar sebagai berikut.
    Komoditi yang ditanam pada lahan sawah:
    Bulan ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    Komoditas Padi Jagung Padi Jagung

    Komoditi yang ditanam pada lahan tegal:
    Bulan ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    Komoditas Ubi Singkong Ubi Singkong

    Pak Samar memilih komoditas seperti tercantum dalam tabel di atas dengan pertimbangan lokasi lahan yang berada di daerah dataran rendah yang mendapat banyak sinar matahari.
    Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwono dan Hartono (2005) yang menyatakan bahwa tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Intensitas matahari sangat penting bagi tanaman, terutama dalam masa pertumbuhan. Sebaiknya tanaman jagung mendapatkan sinar matahari langsung. Dengan demikian, hasil yang diperoleh akan maksimal. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat. Produksi biji yang dihasilkan pun kurang baik, bahkan tidak dapat terbentuk buah.
    Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain jenis andosol (berasal dari gunung berapi), latosol dan grumosol. Pada tanah bertekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik, tetapi perlu pengolahan secara baik serta aerasi dan drainase yang baik. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (latosol) merupakan jenis tanah terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, dan kaya humus.
    Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8%. Hal ini dikarenakan kemungkinan terjadi erosi tanah sangat kecil. Pada daerah dengan tingkat kemiringan 5-8% sebaiknya dilakukan pembuatan teras. Tanah dengan kemiringan lebih dari 8% kurang sesuai untuk tanaman jagung.
    Begitu pula dengan tanaman ubi jalar. Menurut Rukmana (2000), syarat tumbuh ubi jalar yaitu dataran rendah hingga ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl). Di dataran tinggi (pegunungan) berketinggian 1000 m dpl, ubi jalar masih dapat tumbuh dengan baik, tetapi umur panen menjadi panjang dan hasilnya rendah.
    Pengandalian hama dan penyakit tanaman yang diterapkan pak Samar adalah dengan menggunakan pestisida kimia, yaitu perstisida Desis.


    2.3.4 Perubahan Sosial Budaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Pada saat awal bekerja sebagai petani yaitu sekitar tahun 1960, pak Samar mengolah lahan pertaniannya menggunakan tenaga hewan karena memang pada saat itu penggunaan alat dan mesin pertanian yang canggih belum begitu banyak diterapkan dan kebutuhan masyarakat akan komoditas pertanian juga belum terlalu tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, kini pak Samar telah menggunakan mesin-mesin canggih untuk mengolah tanah, misalnya mesin traktor untuk membajak sawah.
    Menurut Anonymousa (2012), alat dan mesin pertanian memiliki berbagai peranan dalam usaha pertanian, antara lain:
    • Menyediakan tenaga untuk daerah yang kekurangan tenaga kerja
    • Antisipasi minat kerja di bidang pertanian yang terus menurun
    • Meningkatkan kapasitas kerja sehingga luas tanam dan intensitas tanam dapat meningkat
    • Meningkatkan kualitas sehingga ketepatan dan keseragaman proses dan hasil dapat diandalkan serta mutu terjamin
    • Meningkatkan kenyamanan dan keamanan sehingga menambah produktivitas kerja
    • Mengerjakan tugas khusus atau sulit dikerjakan oleh manusia
    • Memberikan peran dalam pertumbuhan di sektor non pertanian
    Sebagai contoh, pekerjaan pengolahan tanah sawah bila menggunakan tenaga manusia diperlukan 50 hari kerja per hektar. Bila dibajak dengan kerbau, membutuhkan 25 hari kerja per hektar. Sedangkan jika dikerjakan dengan traktor roda dua, cukup 10 jam per hektar.

    2.3.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Pengadaan Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Pemasaran Usahatani Petani
    Dalam melakukan kegiatan pertanian, pak Samar memperoleh bibit dari hasil panen sebelumnya. Pupuk kimia diperoleh dengan cara membeli dari lembaga pertanian yang ada di Dusun Ngrangin. Sedangkan pupuk organik diperoleh dengan cara membeli dari petani pemilik lahan. Tenaga kerja yang bekerja diperoleh secara sukarela yaitu dari tetangga sekitar rumah yang bersedia membantu melakukan kegiatan pertanian. Tenaga kerja tersebut diberi upah harian sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan yang dilakukan masing-masing tenaga kerja. Hasil panen dari lahan yang digarap oleh pak Samar sebagian kecil dikonsumsi keluarga sendiri dan sebagian besar dijual. Adapun pembeli komoditi pertanian pak Samar adalah pedagang yang berjualan di pasar tradisional Pakis. Pedagang akan mendatangi pak Samar untuk membeli komoditi pertanian. Komoditi beras dijual seharga Rp 185.000,00 per kwintal.
    2.3.6 Kesimpulan
    Pak Samar adalah seorang petani penggarap lahan yang bekerja pada suatu lahan sewa seluas 9 hektar dan lahan tegal warisan seluas 0,25 hektar. Status sosial pak Samar tergolong kalangan bawah karena beliau merupakan petani penggarap lahan sawah dan petani buruh. Pak Samar tergolong petani maju karena beliau telah melakukan pengolahan lahan menggunakan alat dan mesin pertanian modern yang canggih dan menggunakan pestisida sintesis yang penggunannya telah disesuaikan dengan kondisi tanaman dan lingkungan sekitar. Komoditi pertanian yang ditanam pak Samar antara lain padi, jagung, ubi jalar dan singkong. Komoditas padi dan jagung ditanam di lahan sawah, sedangkan ubi jalar dan singkong ditanam di lahan tegal. Pergiliran tanaman yang dilakukan pak Samar berdasarkan musim dan kondisi cuaca pada saat itu. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca dan lingkungan berdampak langsung pada tanaman budidaya. Alasan pemilihan komoditas padi, jagung, ubi jalar dan singkong adalah keadaan lingkungan tempat sawah dan tegal yang digarap pak Samar merupakan daerah dataran rendah yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun. Kondisi ini sangat sesuai untuk komoditas pertanian yang ditanam pak Samar. Hasil panen sebagian kecil dikonsumsi keluarga dan sebagian besar dijual ke pedagang di pasar tradisional Pakis.



    2.4 Deskripsi Keluarga dan Usahatani Bapak Slamet
    2.4.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Berdasarkan survei yang telah dilakukan, petani tersebut bernama bapak Slamet, beliau berumur 54 tahun. Beliau bertempat tinggal di dusun Ngragen desa Sumber Pasir RT.13. tingkat pendidikan beliau adalah sekolah dasar(SD). Bapak Slamet memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan pekerjaan sampingan sebagai seorang pedagang beras. Pekerjaan sebagai petani tersebut beliau mulai sejak tahun 1982. Keluarga Bapak Slamet beranggotakan 5 orang. Bapak Slamet mempunyai 3 orang anak, 2 diantaranya telah menikah dan anak terakhirnya masih bersekolah. Keluarga Bapak Slamet juga mengelola warung yang menjual bahan kebutuhan pokok di depan rumahnya.

    2.4.2 Status Sosial Ekonomi Keluarga Petani
    Dalam kegiatan ekonomi, selain menjadi petani beliau juga menjadi seorang pedagang beras. Dalam kegiatan bertani, lahan sawah yang beliau olah ada 2 macam yaitu lahan milik beliau sendiri seluas 0,5 hektar yang beliau beli sejak 2 tahun yang lalu dan lahan seluas  0,5 hektar yang beliau sewa dari bapak Sulaiman sejak 2 tahun yang lalu. Keluarga bapak slamet tersebut tergolong keluarga yang sederhana. Luas bangunan rumah tersebut sekitar 55 m2 berlantaikan keramik denagn dinding tembok dan beratap genteng biasa. Keluarga tersebut memiliki 2 unit sepeda ontel dan 2 unit sepeda motor. Selain itu keluarga tersebut juga memiliki 1 unit radio. Berdasarkan kondisi ekonomi di atas dapat dikatakan bahwa keluarga petani tersebut merupakan keluarga yang cukp sukses sebagai petani. Dapat dilihat dari keadaan rumah dan perabotan dan alat transportasi yang dimiliki.


    2.4.3 Kebudayaan Petani
    Kebudayaan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dan terus menerus. Menurut Selo Soemardjan kebudayaan merupakan hasil dari karya, rasa dan cipta. Dan kebudayaan di jawa itu mengutamakan keseimbangan, keselarasan sama keserasian. Jadi semua unsur (hidup dan mati, alam dan mahluk hidup) harus harmonis, saling berdampingan. Intinya semua harus cocok. Semua yang mengakibatkan ketidak cocokan harus di hindari, setiap yang ada menggangu keseimbangan harus cepat diselesaikan biar semua kembali harmoni lagi.
    Kebudayaan pertanian adalah suatu kebiasaan yang dilakukan dan dilaksanakan secara terus menerus pada saat sebelum atau sesudah menggarap atu memanen hasilnya.( Soekanto, 1990)
    Dalam setahun terakhir ini, lahan bapak Slamet di tanami cabe dan jagung manis. Beliau menerapkan sistem monokultur, alasannya adalah menurut beliau apabila menggunakan sistem polikultur maka tanaman budidaya tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik. Berikut sebagai contoh cara budidaya tanaman cabe yang telah beliau terapkan pada lahannya: menyiapkan bibit cabe yang akan digunakan, bibit tersebut beliau dapat dengan membeli dari tempat pembenihan. Bibit yang siap digunakan berumur sekitar 20-30 hari. Menurut beliau untuk mengetahui berapa bibit yang dibutuhkan beluai hanya mengira-ngira saja, sekitar 16.000 bibit per hektar. Selain persiapan bibit tersebut, persiapan penting lainnya adalah persiapan lahan. Beliau membuat bedengan dengan ukuran kira-kira 1 m dengan tinggi bedengan sekitar 50 cm, antar bedengan terdapat selokan dengan ukuran kira-kira 60cm. Sebelum beliau memasang mulsa plastik hitam perak, beliau melakukan pemupukan pada bedengan tersebut dengan menggunakan aripupuk urea dan pupuk kandang kemudian bedengan tersebut disiram. Menurut beliau pemberian mulsa pada bedengan cabai tersebut adalah agar tidak banyak gulma yang akan tumbuh. Pemasangan mulsa dilakukan pada siang hari, pada saat cuaca panas, alasannya dilakukan pada siang hari agar plastik dapat dikembangkan ketika ditarik kencang. Pada sisi-sisi mulsa tersebut dipasang pasak agar mulsa tidak bergeser. Setelah pemasangan mulsa, dibuat lubang pada plastik mulsa tersebut dengan jarak 60 cm x 70 cm secara zigzag. Setelah bedengan telah siap, maka dilakukan penanaman bibit cabai. Penanaman dilakukan pada saat sore hari, alasannya dalah agar bibit tidak mudah layu. Sebelum bibit ditanam, setelah bibit dilepas dari plastik bibit tersebut dicelupkan kedalam air, hal tersebut bertujuan agar akar cabe lembab sehingga tidak mudah layu.
    Berdasarkan keterangan dari beliau, untuk perawatan tanaman cabai tersebut adalah melakukan seminggu setelah tanam kemudian pemupukan susulan dilakukan pada umur skitar 40hari dan 70 hari, pemupukan beliau lakukan dengan menggunakan pupuk NPK seminggu sekali dengan cara melarutkan dengan air. Dan penyiraman ketika setelah tanam dilakukan setiap hari agar tanaman tidak mudah layu. Pada saat pemyiraman tersebut beliau menerapkan sistem manual yaitu menggunakan ember atau gembor. Berdasarkan keterangan beliau, pengairan juga bisa dilakukan dengan mengalirkan air pada parit yang ada diantara bedengan. Kemudian pemberantasan terhadap hama biasa dilakukan dengan menggunakan pestisida dilakukan seminggu sekali untuk mencegah serangan hama penyakit. Sedangkan penyiangan tidak terlalu dilakukan karena gulma sudah dikendalikan dengan menggunakan mulsa.
    Menurut beliau pemanenan pada tanaman cabai dapat dilakukan pada umur sekitar 100 hari. Pada saat penanaman cabai tersebut, hama yang sering menyerang tanaman cabai beliau adalah cabuk dan ulat. Beliau biasa membasmi hama tersebut dengan menggunakan pestisida dengan nama ‘gramason’. Dalam penggunaan pestisida kimia tersebut, beliau tidak pernah menghiting barapa ml pestisida yang beliau pakai untuk 1 tangki, beliau hanya menggunakan menghitung banyaknya pestisida yang beliau gunakan dengan menggunakan tutup. Di mana untuk 1 tangki beliau menggunakan dua tutup pestisida.
    Hasil dari panen tersebut beliau jual kepada pedagang atau pun beliau jual ke pasar dengan harga 10.000 per kilogram. Semua pengalaman bercocok tanam tersebut beliau peroleh dengan belajar sendiri dan juga melihat cara bercocok tanam orang tua. Sehingga beliau menerapkan sistem bercocok tanam tersebut pada lahan sawahnya.
    Berikut adalah diagram alir dari cara bercocok tanam yang diterapkan petani tersebut:
































































    Berikut adalah tabel alur tanam yang diterapkan beliau:
    bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    tanaman jagung cabai jagung

    2.4.4 Perubahan Sosial Budaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Berdasarkan keterangan dari petani tersebut, perubahan yang terjadi pada cara bercocok tanam adalah mulai dikenalnya penggunaan alat dan mesin pertanian seperti membajak dengan menggunakan mesin traktor dan juga perubahan dari penggunaan pupuk organik ke pupuk kimia dikarenakan jika menggunakan pupuk kimia hasil dari reaksi pupuk tersebut terhadap tanaman akan lebih cepat terlihat. Penggunaan bahan kimia tersebut juga beliau terapkan pada penggunaan pestisida. Karena reaksi yang cepat itulah petani tersebut menjadi ketergantungan untuk menggunkan bahan kiia setiap kali bercocok tanam.

    2.4.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Pengadaan Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Pemasaran Hasil Usahatani
    Benih atau bibit yang beliau gunakan untuk bercocok tanam beliau peroleh dengan membeli dari kios atau toko pertanian. Begitu juga dengan pupuknya. Belau biasa menggunakan pupuk NPK dan membeli pupuk tersebut dengan jumlah 50 kg. Sedangkan untuk sistem irigasi beliau menerapkan sistem irigasi tradisional yaitu mengalirkan air dari sungai.
    Hasil panen dari sawah tersebut dijual ke pedagang ataupun dijual di pasar terdekat seperti pasar gadang dengan harga sesuai yang ada di pasaran.
    2.4.6 Kesimpulan
    Berdasarkan survei yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa petani tersebut sistem pertanian modern seperti mulai mengenal adanya alat dan mesin pertanian serta penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Setelah mengenal bahan-bahan kimia tersebut kemudian petani tersebut mulai meninggalkan cara-cara tradisional, dikarenakan dengan menggunakan bahan-bahan kimia tersebut maka reaksi terhadap tanaman akan lebih cepat terlihat. Petani tersebut menjadi ketergantungan untuk tetap menggunakan bahan-bahan kimia karena beliau mengetahui bahwa reaksi terhadap tanamn akan terlihat dengan cepat.
    Hasil pertanian dari petani tersebut akan dijual kepada pedagang atau dijual langsung kepasar dengan harga sesuai pasaran.

    2.5 Deskripsi Keluarga dan Usahatani Bapak Yudi Hartono
    2.5.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Pak Yudi Hartono yang berumur 35 tahun. Beliau bertempat tingal di dusun Ngragen desa Sumber Pasir RT.14. beliau menyelesaikan pendidikan sampai sekolah menengah pertama, karena pada zamannya pak Yudi orang tua tidak bisa membiayai sekolah anaknya  di karenakan terdapak kendala keuangan dalam keluarganya. Pak Yudi mempunyai pekerjaan sebagai petani sejak beliau ikut kerja bersama ayahnya pada waktu masih kecil, tapi ayahnya pak Yudi sudah meninggal sejak beliau berumur 30 tahun. Keluarga  pak Yudi beranggotakan 4 0rang, yaitu (istri, anak dan ibunya yang sudah tua).
    2.5.2 Status Sosial Ekonomi Keluarga Petani
    Menurutsaya status sosial pak Yudicukup kaya karena dia petani yang sukses, mengapa  demikian karena dia meproduksi hasil taninya sendiri lalu dikirim kepabrik besar yang ada di Indonesia. Dia juga mempunyai karyawan untuk  mengolah hasil taninya  tersebut. Pak Yudi menyewa lahan 3 ha setiap tahunnya untuk dibudidayakan tanaman ketela, menurut pak yudi tanaman ketela sekarang sangat diminati oleh orang Indonesia maupun orang asing, pakYudi bekerja sebagai petani budidaya ketela pak Yudi juga menanan padi di saat-saat tertentu saja. Pak Yudi tidak memelihara ternak, pak Yudi juga mempunyai sepeda motor 2, mobil 1, truk 1, televise 1, radio 1,dan telpon 3. Pak Yudi sekarang tinggal dirumahnya yang besarnya 10 x 20 m2  dengan lantai kramik dan warna catnya yang elegan bersama istri, anak dan ibunya.

    •        Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.
    •        Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.( Anonymus, 2012)

    2.5.3 Kebudayaan Petani
    Pak Yudi menyewa lahan untuk ditanam pohon ketela, dan padi, tapi lebih dominan  tanaman ketela karena beliau memproduksi sendiri lalu dijual keperusahaan. beliau mendapatkan benih /bibit dari perusahaan, jadiperusahaanmengasihkanbibit/benihuntukditanammelaluipakYudi.Pak  Yudi menanam ketela yang  varietasnya baik menurut selera konsumenya.
    Sebelum menanam beliau mengolah tanahnya menggunakan traktor, agar tanahnya dapat ditanam dengan mudah, untuk tanaman padi beliau memakai varietas asputih,paon dan untuk ketelanya dikasi oleh perusahaan yang  membeli ketelanya itu sendiri, jenis pupuk  yang  digunakan NPK, ZA, UREA. Penyiangan dilakukan seminggu1x , dengan menggunakan tangan dan gasrok, lahannya diari menggunakan irigasi. Biasanya tanaman yaitu terkena hama dan penyakit, padatanaman padi (tikus dan belalang) sedangkan pada tanaman ketela (tikus). Cara mengendalikan hama dan penyakit pak Yudi menggunakan pestisida kimia yaitu desis atau sekor, dengan jumlah literan setiap 3 ha lahan. Pada saat waktunya panen pak yudi mengunakan tresher untuk tanaman padi, agar bulirnya berjatuhan, dan setelah itu bulirya dikeringkan dan di bersihkan untuk dijual, dan pada tanaman ketela dengan cara dicabut lalu dimasukkan dalam karung dan di ekspor langsung setengah jadi untuk dikirim keperusahaan. Pak Yudi memperoleh cara bercocok tanam dari orantuanya, karena orang tua pak Yudi dulu seorang  petani, dan waktu kecil dia selalu ikut orang tuanya untuk bertani.

    Cara bercocok tanam pada tanaman padi

    a)      Tanah diolah terlebih dahulu menggunakan traktor/bajak agar struktur tanahnya sesuai dengan pola pertumbuhan padi
    b)      Kemudian dibiarkan untuk beberapa hari untuk memaksimalkan tanahnya
    c)      Lalu pengolahan tanah lagi ntuk memulai menanam tanaman padi
    d)     Buat bedengan untuk tanaman padi 3 x 5 m
    e)      Pengukuran jarak tanam pada tanaman padi 20 x 20 cm
    f)       Siapkan benih untuk ditanam langsung ke lahan (paon dan asputih)
    g)      Mulai untuk menanam menggunakan tangan dengan pola tanam zig-zag
    h)      Penggunaan pupuk NPK dan ZA
    i)        Tunggu sampai tumbuh biji atau bulir
    j)        Pestisida desis ata sekor
    k)      Seminggu sekali melakukan penyiangan dengan menggunakan gasrok/tangan
    l)        Pengairan menggunakan irigasi yaitu dengan parit
    m)    Panen padi setelah umur 3 bulan
    n)      Ambil menggunakan sabit/arek/celurit lalu digebpyok agar bulirya berjatuhan
    • o)      Di pilih dan dikeringkan, lalu ditaruh di sak karung beras
    Diagram alir penanaman padi…















































    Dibiarkan beberapa hari







    Pengolah tanah lagi untuk memaksimalkan lahan







    Buat bedengan tanaman padi







    Pengukuran jarak tanam 20 x 20 cm







    Siapkan benih untuk ditanam dan pupuk NPK dan ZA







    Menggunakan pola tanam secara zig-zag dan segi empat







    Tunggu sampai tumbuh biji,jika ada gulma lakukan penyiangan seminggu 1x







    Pengairan menggunakan irigasi yaitu dengan parit






    Panen padi setelah umur 3 bulan, ambil padi menggunakan sabit, lalu digebyok agar bulirya berjatuhkan







    Ambil lalu dikeringkan dan setelah itu dikumpulkan di taruh didalam sak karung











































    Table penanam komoditas padi
      Bulan ke-
      1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    komuditas padi   padi  

    Cara bercocok tanaam, tanaman ketela

    • Persiapan lahan megunakan bajak/traktor
    • Dibiarkan untuk beberapa hari untuk memaksimalkan tanahnya
    • Pengolahan tanah untuk memulai penanaman tanaman ketela
    • Buat bedengan 2,5 ha untuk tanaman ketela
    • Pengukuran jarak tanam dengan 30 x 70 cm
    • Siapkan biji untuk ditanam kelahan
    • Mulai menanam menggunakan tangan dan untuk lubang tanam menggunakan linggis
    • Penggunaan pupuk NPK dan ZA
    • Menngunakan pestisida desis/skor
    • Seminggu sekali melakukan penyiangan menggunakan gasrok dan tangan
    • Pengairan menggunakan irigasi dengan melalui parit
    • Panen tanaman ketela setengah jadi
    • Lalu di taruh dalam karung dan dibawa ke perusahaan


    Diagram alir penanaman ketela















    Persiapkan lahan menggunakan traktor







    Pengolahan tanah untuk memulai penanaman ketela







    Buat bedengan 2,5 ha untuk tanaman ketela







    Buat jarak tanam dengan 70 30 cm






    Siapkan biji untuk ditanam dengan lubang  10 cm menggunakan kayu atau linggis

































    Menggnakan pupuk NPK dan ZA






    Pengairan menggunakan irigasi melalui parit























    Panen tanaman ketela setengah jadi







    Lalu ditaruh dalam karung






    Di bawa ke perusahaan












    Table penanaman komoditas ketela
      Bulan ke-
      1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
    komuditas Tanaman ketela


    2.5.4 Perubahan Sosial Budaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Menurut pak Yudi cara bercocok tanam sekarang berbeda dengan yang dahulu,terletak dengan cara pengolahan tanahnya dan cara mendabatkan bibit atau benih, kalau zaman dahulu beliau menggunakan cangkul untuk mengolah lahannya, dan sekarang menggunakan traktor. Dan untuk zaman dahulu sulit untuk menemukan bibit yang bagus, sedangkan zaman sekarang bibit yang bagus mudah di dapatkan, karena beliau mendapatkannya lansung dari perusahannya yang membeli tanaman ketelanya untuk di produksi.

    Beberapa faktor seperti morfologi, anatomi dan fisiologi tanaman mempengaruhi pertumbuhan penggerek padi.  Sifat-sifat fisiologi seperti kandungan air dan pati yang tinggi lebih disukai penggerek padi.  Walaupun belum ada varietas yang dinyatakan tahan terhadap penggerek, namun di lapang terlihat adanya perbedaan tingkat kerusakan. Hal ini dapat dimanfaatkan dalam upaya pengendalian.
    (Anonymous, 2012)
    2.5.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Pengadaan Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Pemasaran Hasil Usahatani
    Pak Yudi memproduksi sendiri tanaman ketela dan padi, tapi pak Yudi dibantu perusahan untuk mendapatkan bibit, dan dibudidayakan sama pak Yudi dengan menyewa lahan 3 ha per tahun dengan harga 8-9 juta. Tidak ada aturan bagi hasil dengan orang yang mempunyai lahan, karena sistemnya sewa jadi hasil panenya semua dimiliki pak Yudi. Pak Yudi memperoleh pupuk dengan membeli 1,5 kwintal untuk 3 ha sawah (pupukkimia), pak Yud  ijuga menggunakan pestisida untuk hama bagi tanaman yang dibudidayakan dengan jumlah satuan liter untuk 3 ha sawah, pak Yudi menggunakan irigasi untk mengairi tanamanya dengan cara membuat selokan yang berisi air. Pak Yudi mempunyai tenaga kerja untuk bekerja disawahnya dengan upah per hari/sekali menanam. Pak Yudi mudah sekali untuk mendapatkan tenagakerja, kaena sebagian besar penduduk sana bekerja sebagai buruh tani. Hasil panen langsung dikirim keperusahaan dan  tidak dijual kepasar,dengan harga minimal 800.000 per kwintal.
    2.5.6 Kesimpulan
    Jadi kesimpulannya pak Yudi adalah petani sukses dia membudidayakan tanaman ketela untuk dijual/dikirim keperusahaan besar,melalui truknya dia memperoleh bibit/benih dari perusahan itu, pak Yudi juga mempunyai tenaga kerja yang cukup banyak, dia menanam ketela menggunakan kompos kimia dan pestisida  kimia, hasil panenya langsung dikirim keperusahaan. Pak Yudi menyewa sawah 3 ha untuk tanaman budidaya ketelanya. Dengan harga 8-9 juta pertahun, dan hasil panenya dikirim keperusahaan dengan harga 800.0000 per kwintal. Dan hasilnya dikasih kepekerjanya untuk dijadikan upah selama mereka bekerja di lahannya pak Yudi.

    2.6 Rangkuman
    Berdasarkan survei dapat diketahui bahwa petani-petani tersebut termasuk petani yang cukup maju, dimana mereka sudah mulai mengenal adanya alat dan mesin pertanian serta bahan bahan kimia untuk mengolah lahan pertaniannya, meskipun ada petani yang tetap menggunakan sistem pertanian tradisional seperti pada penggunaan bajak dan alat perontok padi, dikarenakan menurut petani tersebut biaya untuk menyewa alat mesin pertanian sangatlah mahal bagi keluarga mereka.
    Diantara beberapa petani tersebut juga terdapat petani yang mulai mengembangkan usaha pertaniannya dimana petani tersebut telah bekerja sama dengan suatu perusahaan untuk mengolah lahan pertaniannya. Beliau menanam sebuah komoditas, yaitu ketela dimana dalam budidayanya bibit ketela tersebut sudah disediakan oleh suatu perusahaan kemudian hasil panennya akan langsung dikirim kperusahaan tersebut.
    Semua petani tersebut menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia untuk membudidayakan komoditas mereka. Dahulunya mereka juga menggunakan bahan-bahan organik, namun kemudian mereka lebih memilih berpindah ke bahan bahan kimia tersebut dikarenakan dengan menggunakan bahan kimia tersebut hasil dari reaksi terhadap tanaman akan lebih cepat terlihat.
    Hasil pertanian dari lahan sawah petani tersebut ada yang dikonsumsi sendiri namun juga ada yang dijual kepada pedagang ataupun ke pasar. Untuk komditas pokok seperti padi, mereka akan menyimpanny untuk konsumsi sendiri. Sedangkan untuk komoditas yang lain seperti jagung dan cabai mereka akan menjualnya kepada pedagang. Ada pula petani yang menjual hasil panenannya langsung kepada perusahaan karena sudah bekerja sama dengan perusahaan tersebut.

















    BAB III
    PENUTUP
    3.1 Kesimpulan
    Berdasarkan survei yang telah dilakukan terhadap beberapa petani sampel di dusun Ngragen desa Sumber Pasir, dapat disimpulkan bahawa para petani didaerah tersebut dapat dikatakan sebagai petani yang cukup maju. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan alat dan mesin pertanian yang mereka gunakan untuk mengolah lahan sawahnya seperti pada penggunaan bajak. Meskipun ada beberapa petani yang tetap menggunakan alat tradisional untuk membajak sawahnya, hal tersebut dikarenakan beberapa alasan terutama mahalnya sewa mesin untuk membajak sawah tersebut.
    Selain itu petani di desa tersebut juga sudah menggunakan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida kimia. Setelah mereka mengenal bahan-bahan kimia tersebut kemudian mareka mulai meninggalkan bahan bahan organik dan beralih menggunakan bahan kimia tersebut setelah mereka mengetahui bahwa reaksi bahan kimia tersebut terhadap tanaman akan cepat terlihat dari pada menggunakan bahan organik.
    Sebagian besar petani di daerah tersebut menentukan pola tanam berdasarkan iklim di daerah tersebut. Kecuali bagi petni yang sudah bekerja sama dengan perusahaan, sehingga petani tersebut akan menanam komoditas yang sudah ditentukan perusahaan tersebut sepanjang tahun.
    Untuk hasil pertanian, para petan tersebut akan mengkonsumsi sendiri hasil pertanianny terutama komoditas pokok seperti padi. Sedangkan untuk komoditas yang lain seperti jagung dan cabai, mereka akan menjualnya kepada pedagang atau menjualnya sendiri dipasar.
    Penggunaan bahan-bahan kimia untuk bercocok tanam di desa tersebut cukup besar, apalagi sekarang ini para petani tersebut telah mulai meninggalkan bahan organik untuk bercocok tanam sehingga mereka sangat ketergantungan terhadap bahan kiia tersebut. Apabila hal tersebut dilakukan terus-menerus akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Para petani tersebut tidak mengetahui dampak dari penggunaan bahan kimia tersebut terhadap lingkungan maupun tanaman budidaya itu sendiri. Sehingga lebih baik dilakukan penyuluha atau pendekatan terhadap penduduk desa tersebut agar mengetahui dampak yang akan ditimbulkandari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut dan mulai memperkenalkan kembali bahan-bahan organik untuk bercocok tanam.
    3.2 Saran
    Diperlukan lebih banyak penyuluhan pada daerah tersebut. Meskipun pertanian di daerah tersebut sudah cukup maju dan petaninya sudah cukup sukses, namun penggunaan bahan kimia untuk bercocok tanam di daerah tersebut sangat tinggi. Sehingga dikhawatirkan dapat berakibat buruk pada lingkungan. Kebanyakan para petani tersebut tidak mengetahui dampak dari penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang digunakan secara terus menerus.
    Selain itu perlu para petani tersebut perlu diperkenalkan kembali pada bahan-bahan organik seperti pupuk dan pestisida organik beserta manfaatnya agar para petani tidak ketergantungan terhadap bahan-bahan kimia tersebut.








    DAFTAR PUSTAKA

    Anonymous a,2012.http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi
    Anonymous a. 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Alat_dan_mesin_pertanian
    Diakses tanggal 9 Juni 2012
    Anonymous b,2012.http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1077
    Purwono; Hartono, Rudi. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya: Bogor
    Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. UGM Press. Yogyakarta.
    Rukmana, Rahmat. 2000. Ubi Jalar: Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius: Yogyakarta
    Sadikin; Samandawai, Sofwan. 2007. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Yayasan Akatiga: Bandung
    Sediono M.P. Tjondronegoro. 2001. Jurnal Analisis Sosial: Sumber Daya Agraria
    Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo.
    Soemardjan, S. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. FE UI Press. Jakarta.
    Susanto, Astrid. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. Jakarta.

  • Laporan Wawancara Sosper

    Date: 2012.06.11 | Category: Uncategorized | Response: 0
    BAB II
    ASPEK SOSIOLOGIS PETANI
    2.1 Deskripsi Keluarga Petani
    Petani tersebut bernama bapak Miseri yang berumur 47 tahun. Beliau bertempat tinggal di dusun Ngragen desa Sumber Pasir RT.19. beliau menyelesaikan pendidikan sampai sekolah dasar(SD) kelas 3 di karenakan terdapat kendala keuangan dalam keluarganya. Pak Miseri mempunyai pekerjaan sebagai seorang petani sejak beliau masih kecil (sekitar berumur 9 tahun)  tanpa pekerjaan sampingan lainnya. Keluarga pak Miseri beranggotakan 5 orang, yaitu dengan seorang istri dan dua orang anak perempuannya.
    2.2 Status Sosial Ekonomi Keluarga Petani
    Dalam kegiatan ekonomi, bapak Miseri mengandalkan dari hasil pertanian. Sejak 10 tahun yang lalu beliau menggarap sawah/lahan milik bibinya dengan menerapkan sistem bagi hasil(maro) dengan luas lahan sekitar 3000 m2. Bapak Miseri mempunyai pekerjaan utama sebagai seorang petani tanpa mempunyai pekerjaan sampingan sebagai peternak atau yang lainnya. Keluarga tersebut memiliki 1 sepeda ontel dan 1 sepeda motor, selain itu keluarga tersebut juga memiliki 1 TV, 1 radio dan 2 HP. Keluarga tersebut bertempat tinggal di sebuah rumah dengan luas bangunan sekitar 77 m2 berlantai keramik, berdinding tembok dengan atap rumah berupa genteng. Dilihat dari keadaan ekonomi dan kondisi tempat tinggal, petani tersebut dapat dikatakan sebagai petani yang cukup sukses. Karena dapat dibandingkan dengan rumah penduduk disekitarnya, rumah petani tersebut termasuk rumah yang cukup layak dan bagus menjadi tempat tinggal seorang petani.
    2.3 Kebudayaan Petani
    Menurut bapak Miseri pola tanam yang diterapkan pada lahan sawahnya adalah berdasarkan iklim, jika musim penghujan beliau akan menanam padi dan pada musim kemarau beliau akan menanam palawija seperti jagung dan kacang tanah. Pada setahun terakhir ini, sawah garapan bapak Miseri ditanami berbagai komoditas, di antaranya pada bulan Oktober sampai Desember sawah tersebut ditanami padi, pada bulan januari sampai April sawah tersebut ditanami jagung kemudian pada bulan Mei sampai sekarang sawah tersebut masih ditanami kacang tanah. Menurut bapak Miseri pada zaman dahulu para petani dapat memperkirakan pola tanam dengan menghitung bulan, misalnya pada bulan September sampai April itu adalah musim penghujan, sehingga mereka akan mempersiapkan untuk menanam padi dan pada bulan april sampai agustus itu adalah musim kemarau  sehingga mereka akan mempersiapakan untuk menanam palawija. Namun pada tahun tahun ini mereka tidak dapat menentukan pola bercocok tanam dengan menghitung bukan seperti apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, hal ini dikarenakan akhir akhir ini musim tidak adapat diprediksi dengan baik. Biasanya sehrusnya sudah musim penghujan tapi ternyata masih musim kemarau panjang atau sebaliknya.
    Berdasarkan keterangan yang telah di peroleh dari bapak miseri, beliau masih mengguanakan sistem pertanian tradisional, misalnya dalam hal membajak sawah beliau masih menggunakan bajak yang menggunakan tenaga hewan seperti sapi ataupun kerbau, dalam hal penyiangan pun beliau tetap menggnakan tangan ataupun gasrok, begitu juga dalam hal pemanenan  misalnya dalam pemanenan padi beliau masih menggunakan gepyok, menurut bapak miseri untuk menyewa mesin perontok padi membutuhkan biaya yang mahal. Sebagai contoh cara budidaya beliau, berikut adalah cara budidaya padi yang telah beliau terapkan:  pertama yang harus disiapkan adalah benih yang akan digunakan, pada lahan beliau menggunakan varietas IR 64, untuk 1 hektar lsawah biasanya menggunakan benih sekitar 30 kg per hektar, kemudian siapkan tempat persemaian. Kemudian sebar benih padi pada persemaian . umur bibit padi yang siap digunakan adalah bibit padi dengan umur sekitar 25 hari. Sebelum pananaman bibit padi sawah tersebut diolah dengan menggunakan bajak dan garu secara tradisional. Penanaman bibit padi dilakukan secara tradisional dengan sekitar 3-5 bibit padi per lubang tanam dengan jarak tanam sekitar 25cm x 25cm. Untuk pemeliharaan tanaman padi hal-hal yang dilakukan oleh bapak miseri adalah melakukan penyiangan setiap kali sawah tersebut tumbuh gulma, penyiangan tersebut dilakukan dengan menggunakan tangan ataupun gasrok. Kemudian melakukan pemupukan. Petani tersebut biasa menggunakan pupuk kimia yaitu pupuk urea dan ZA. Dosis yang digunakan untuk penggunaan pupuk tersebut adalah sekitar 50kg urea dan 50kg ZA. Pemupukan biasa dilakukan 2 kali, yaitu ketika padi setelah tanam dan ketika padi sekitar berumur 30 hari. Pengairan yang diterapkan pada saat menanam padi adalah dengan pengairan tradisional yaitu mengalirkan air irigasi dari sungai.
    Pemanenan tanaman padi dilakukan ketika tanaman tersebut sudah mulai terlihat menguning atau ketika tanaman sudah berumur sekitar 4 bulan. Pemanenan tersebut dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan gapyok. Setelah dipanen, padi yang sudah dirontokkan dijemur, kemudian hasil dari panenan tersebut untuk konsumsi sendiri. Kecuali apabila sawah tersebut ditanami jagung atau kacang tanah, hasil dari panenan akan dijual kepada pengumpul ataupun peternak ayam.
    Menurut petani tersebut, pada saat penanaman tanaman padi tersebut, hama yang biasa muncul adalah belalang dan untuk mengendalikan hama tersebut petani biasa menggunakan pestisida kimia seperti Desis atau Urakron dengan dosis 2 tutup per tangki.
    Menurut petani tersebut, beliau mendapat pengetahuan cara bercocock tanam dari keluarganya/orang tuanya terdahulu karena beliau biasa membantu oarang tuanya untuk bertani disawah.

    Pengolahan Lahan dengan menggunakan bajak dan garu
    Diagram alir Cara bercocok tanam yang diterapkan petani tersebut:
    Pembibitan
    Penyiangan
    Pemberantasan hama apabila muncul hama

    Pemupukan ketika tanaman berumur sekitar 30-45 hari

    Pemindahan bibit ke lahan/ penanaman bibit
    setelah bibit berumur skitar 25 hari
    pemupukan ketika tanaman berumur sekitar 1minggu
    Pemanenan ketika tanaman sudah berumur sekitar 3-4 bulan



    2.4 Perubahan Sosial Budaya Petani Terkait Cara Bercocok Tanam
    Menurut keterangan dari bapak Miseri, dahulu beliau menggunakan pupuk kandang untuk sawahnya, namun setelah tahun 1970 an beliau beralih menggunakan pupuk kimia karena di anggap lebih mudah didapat dan reaksi terhadap tanaman lebih cepat bisa terlihat. Meskipun pada saat ini harga pupuk kimia terus meningkat namun petani tersebut tetap menggunakannya karena dianggap pupuk kimia lebih praktis untuk digunakan.
    2.5 Lembaga yang Berkaitan dengan Pengadaan Sarana Produksi. Tenaga Kerja dan Pemasaran Hasil Pertanian
    Sawah yang digarap oleh bapak Miseri saat ini adalah sawah milik bibinya, beliau menggarap sawah tersebut dengan sistem bagi hasil (maro). Bibinya tersebut hanya menyediakan lahan dan menyerahkan semua hal yang berhubungan dengan bercocok tanam pada bapak Miseri seperti benih/bibit, pupuk, pengairan ataupun pestisida yang digunakan.
    Benih/bibit yang digunakan oleh petani tersebut adalah bibit yang diperoleh dengan membeli dari kios ataupun toko pertanian, begitu juga dengan pestisida dan pupuknya. Petani tersebut biasa menggunakan pupuk kimia yaitu Urea dan ZA. Beliau biasanya membeli pupuk Urea sebanyak 50kg dan ZA 50kg untuk digunakan pada sawahnya. Sedangkan pestisida yang biasa digunakan oleh petani tersebut adalah Desis dan Urakron. Dalam sistem pengairannya, petani tersebut menerapkan sistem irigasi tradisional yaitu dengan mengalirkan air sungai pada sawahnya.  Alasan petani tersebut tidak menggunakan bantuannmesin pada setiap kegiatan bercocok tanamnya adalah karena biaya untuk menyewa mesin pertanian sangatlah mahal bagi keluarga mereka. Bahkan untuk menggarap sawah tersebut, bapak miseri tidak meminta bantuan atau tenaga kerja dari orang lain, cukup dengan bantuan dari semua anggota keluarganya meskipun sawah yang digarapnya cukup luas. Karena menurut beliau dari pada untuk memberikan upah pada pekerja, lebih baik uangnya beliau pergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
    Ketika panen, ada komoditas yang dikonsumsi sendiri dan ada komoditas yang dijual. Misalnya ketika panen padi, mereka tidak akan menjual hasil panen tersebut melainkan untuk konsumsi sendiri. Sedangkan ketika mereka panen jagung, kacang tanah atau komoditas lainnya mereka akan menjual panenan tersebut kepada pedagang atau pana para peternak ayam.
    Apabila hasil panen tersebut dijual, mereka akan meminta pedagang datang ke rumah atau sawahnya untuk melihat hasil panen mereka. Sebelum mereka menjual kepada pedagang, mereka melakukan kegiatan pasca panen seperti menjemur kemudian mengemas hasil panen tersebut ke dalam karung. Kegiatan pasca panen tersebut mereka lakukan hanya untuk beberapa komoditas seperti jegung ataupun sayuran. Sedangkan untuk kacang tanah, mereka menyerahkan semua kegiatan pasca panen pada pedagang yang akan membeli hasil panen mereka. Para pedagang yang datang ke rumahnya atau sawahnya akan membeli hasil panen mereka dengan satuan kwintal dengan harga sesuai dengan yang ada di pasaran.















    BAB III
    PENUTUP
    3.1 Kesimpulan
    Berdasarkan survei yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa petani tersebut tetap mengguanakan cara tradisional dalam kegiatan bercocok tanam mulai dari penanaman sampai pemanenan, meskipun dalam penggunaan pupuk dan pestisida mereka telah menggunakan bahan kimia. Alasan mereka menggunakan cara tradisional dalah karena biaya untuk menyewa mesin pertanian sangatlah mahal bagi keluarga mereka. Mereka menentukan pola tanam berdasarkan musim dan iklim di daerahnya. Peralihan dari pupuk dan pestisida organik ke pestisida kimia dilakukan mulai tahun 1970 an karena bagi mereka pupuk dan pestisida kimia lebih praktis digunakan dan reaksi pada tanaman dapat cepat terlihat. Petani tersebut mengolah lahan pertaniannya sendiri dengan bantuan anggota keluarganya tanpa meminta bantuan pekerja.
    Hasil pertanian dari sawah petani tersebut ada yang di jual juga ada yang dikonsumsi sendiri. Misalnya untuk komoditas pokok seperti padi, mereka tidak akan menjualnya melainkan untuk konsumsi sendiri. Sedangkan untuk komoditas seperti sayuran, jagung dan kacang tanah mereka akan menjual pada pedagang ataupun peternak.
  • Perkembangan IT di Indonesia

    Date: 2012.06.11 | Category: info | Response: 0
    PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA
    Teknologi informasi adalah suatu teknomogi yang digunakan untuk mengolah data termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi dat dalam berbagai cara untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan dalam keperluan pribadi, pendidikan, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan  informasi yang strategis untuk mengambil keputusan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi  memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e- seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika.
    Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia. Bahkan saat ini, Indonesia sudah merupakan salah satu negara yang memiliki pengaruh cukup besar di dunia. Jika ingin menjadi salah satu negar maju, maka perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia harus bisa lebih ditingkatkan lagi dari sebelumnya.
    Sejarah perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia  dimulai sejak adanya Teknologi Siaran PELITA I, teknologi berupa siaran radio dan televisi. Memang sarana dan prasarana pada waktu itu belum memadai, namun dengan perkembangan teknoligi siaran, seperti siaran langsung dari satelit dan pemancar ulang berdaya rendah , telah memungkinkan dicapainya seluruh pelosok tanah air. Teknologi ini terus berkembang sampai dengan PELITA berikutnya, yang kemudian berkembang dengan munculnya televisi swasta dan jaringan televisi nasional. Satelit komunikasi sejak 1976, Indonesia telah memasuki era informasi modern dengan beroperasinya SKSD PALAPA I. Sistem satelit komunikasi ini merupakan kebutuhan yang unik bagi Indonesia, karena keadaan dan letak geografisnya. Dasar pertimbangan perkembangan sistem ini adalah untuk keperluan penddidikan. Penerangan, hiburan, pemerintahan, bisnis, pertahanan keamanan dan perindustrian. Perkembangan perangkat keras komputer juga berkembang sangat pesat. Selain daya muatnya yang semakin besar, kecepatan operasiny juga semakin tinggi. Personal komputer saat ini sudah tidak dipandang sebagai barang mewah lagi, melainkan suatu kebutuhan yang esensial untuk dapat mengikuti kemajuan.
    Salah satu media komunikai yang menunjukkan peran signifikan yaitu media cetak dan media elektronik. Saat ini media berperan penting dalam perkembangan bangsa ayng dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satu aspek yang berkembang pesat adalah penggunaan media internet oleh masyarakat. Dahulu, hanya segelintir orang yang mengetahui internet, namun sekarang ini orang di desa saja sudah mengenal internet. Peristiwa ini merupakan salah satu perkembangan teknologi komunikasi yang sangat baik. Tetapi beberapa dari pengguna internet itu tidak mengetahui dengan pasti untuk apa kegunaan internet yang sebenarnya. Rata-rata orang di Indonesia memakai internet hanya untuk eksis atyau bisa dibilang ikut-ikutan. Ini terjadi karena maraknya situs jejaring sosial yang tersebar di internet.
    Dalam dunia pendidikan, internet dapat digunakan sebagai wadah yang baik untuk belajar, bukan hanya untuk sekedar bermain dalam jejaring sosial. Kecenderungan perkembangan dan implikasi dunia pendidikan di Indonesia di masa mendatang adalah:
    1. Berkembangnya pendidikan terbuka dengan modus jarak jauh (Distance Learning)
    2. Searing Resource bersama antar lembaga pendidikan/latihan dalam sebuah jaringan
    3. Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif , seperti CD-ROM Multimedia, dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan Video
    DISTANCE LEARNING
    Dengan adanya perkembangan eknologi informasi dalam bidang pendidikan, maka pada saat ini sudah dimungkinkan untuk diadakan belajar jarak jauh dengan menggunakan media internet  untuk menghubungkan antara mahasiswa dengan dosennya, melihat nilai mahasiswa secara online, mengecek keuangan, melihat jadwal kuliah, mengirimkan berkas tugas yang diberikan dosen dan sebagainya, semuanya itu sudah dapat dilakukan. Faktor utama dalam distance learning yang selama ini dianggap masalah adalah tidak adanya interaksi antara dosen dan mahasiswanya. Namun demikian, dengan media internet sangat dimungkinkan untuk melakukan interaksi antara dosen dan siswa baik dalam bentuk real time (waktu nyata) atau tidak. Dalam bentuk real time dapat dilakukan misalnya dalam suatu chatroom, interaksi langsung dengan real audio atau real video, dan online meeting. Yang tidak real time bisa dilakukan dengan mailing list, discussion group, newsgroup, dan buletin board. Dengan cara di atas interaksi dosen dan mahasiswa di kelas mungkin akan tergantikan walaupun tidak 100%. Bentuk-bentuk materi, ujian, kuis dan cara pendidikan lainnya dapat juga diimplementasikan ke dalam web, seperti materi dosen dibuat dalam bentuk presentasi di web dan dapat di download oleh siswa. Demikian pula dengan ujian dan kuis yang dibuat oleh dosen dapat pula dilakukan dengan cara yang sama.
    CONTOH LAIN PEMANFAATAN ATAS PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN DI INDONESIA
    1. Perpustakaan elektronik (e-library) Revolusi teknologi informasi tidak hanya mengubah konsep pendidikan di kelas tetapi juga membuka dunia baru bagi perpustakaan. Perpustakaan yang biasanya merupakan arsip buku-buku dengan dibantu teknologi informasi dan internet dapat dengan mudah mengubah konsep perpustakaan yang pasif menjadi lebih agresif dalam berinteraksi dengan penggunanya. Dengan banyaknya perpustakaan tersambung ke internet, sumber ilmu pengetahuan yang biasanya terbatas ada di perpustakaan menjadi tidak terbatas
    2. Surat elektronik (e-mail) Dengan aplikasi e-mail, seorang guru, orang tua, pengelola, dan siswa dapat dengan mudah saling berhubungan. Pihak sekolah dapat membuat laporan perkembangan siswa dan prestasi belajar baik diminta orang tua atau pun tidak. Dalam kegiatan belajar diluar sekolah, siswa yang menghadapai kesulitam materi pelajaran dapat bertanya lewat e-mail kepada pihak sekolah atau guru bidang studi. Demikian pula untuk guru yang berhalangan hadir dapat memberikan tugas via e-mail kepada siswa.
    3. Ensiklopedia Sebagian perusahaan yang menjalankan ensiklopedia saat ini telah mulai bereksperimen menggunakan CD-ROM untuk menampung ensiklopedia sehingga duharapkan ensiklopedia di masa mendatang tidak hanya berisi tulisan dan gambar saja, tetapi juga video dan audio.
    4. Jurnal atau majalah ilmiah Salah satu argumentasi umumnya di dunia pendidikan Indonesia adalah kurangny akses informasi ke jurnal atau majalah ilmiah yang berada di internet sehingga memudahkan bagi para siswa untuk mengakses informasi ilmiah terkahir yang ada di seluruh dunia.
    5. Pengembangan homepage dan sistim distribusi bahan belajar secara elektronik (digital) Sistem pembelajaran melalui homepage dapat dikembangkan dalam bentuk sekolah maya (virtual school) sehingga semua kegiatan pembelajaran mulai dari akses bahan belajar, penilaian, dan kegiatan administrasi pendukung dapat secara online selama 24 jam.
    6. Video teleconference Keberadaan teknologi informasi video teleconference memungkinkan bagi anak-anak di seluruh dunia untuk saling mengenal dan berhubungan satu dengan lainnya. Video teleconference di sekolah merupakan saranan untuk diskusi, simulasi dan dapat digunakan untuk bermain peran pada kegiatan belajar mengajar yang bersifat social. Disamping itu dapat pula untuk pengamatan proses eksperimen dari seorang guru.
    Dampak positif dan negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan
    Dampak Positif Teknologi Informasi dan Komunikasi di bidang pendidikan:
    1. Informasi yang dibutuhkan akan semakin cepat dan mudah di akses untuk kepentingan pendidikan.
    2. Inovasi dalam pembelajaran semakin berkembang dengan adanya inovasi e-learning yang semakin memudahkan proses pendidikan.
    3. Kemajuan TIK juga akan memungkinkan berkembangnya kelas virtual atau kelas yang berbasis teleconference yang tidak mengharuskan sang pendidik dan peserta didik berada dalam satu ruangan.
    4. Sistem administrasi pada sebuah lembaga pendidikan akan semakin mudah dan lancar karena penerapan sistem TIK.
    Tidak diragukan lagi, transformasi informasi ini memiliki banyak manfaat positif, namun sayangnya juga membawa berbagai dampak negatif diantaranya:
    1. Kemajuan TIK juga akan semakin mempermudah terjadinya pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) karena semakin mudahnya mengakses data menyebabkan orang yang bersifat plagiatis akan melakukan kecurangan.
    2. Walaupun sistem administrasi suatu lembaga pendidikan bagaikan sebuah system tanpa celah, akan tetapi jika terjadi suatu kecerobohan dalam menjalankan sistem tersebut akan berakibat fatal.
    3. Salah satu dampak negatif televisi adalah melatih anak untuk berpikir pendek dan bertahan berkonsentrasi dalam waktu yang singkat (short span of attention).
    Menurut pendapat para pakar informasi, dampak negative dari berbagai fasilitas komunikasi, termasuk internet, sama sekali tidak dapat dipandang sebelah mata, karena dampak negatif tersebut sangat mempengaruhi aktivitas penggunanya. Berikut ini contoh kejahatan maupun tindakan amoral yang paling banyak ditemui sebagai dampak negatif TIK, diantaranya: Pornografi, Tayangan berupa kekejaman dan kesadisan, Penipuan, Carding, Perjudian dan Ketergantungan.
    Dampak negatif TIK diatas dapat dicegah dengan cara-cara berikut:
    1. Menegakkan fungsi hukum yang berlaku, misalnya pembentukan chiber task yang bertugas untuk menentukan standar operasi pengendalian dalam penerapan teknologi informasi di instansi pemerintah. Hal ini meliputi keamanan teknologi, system rekap data, serta fungsi pusat penanganan bencana.
    2. Menghindari penggunaan telepon seluler berfitur canggih oleh anak-anak dibawah umur dan lebih mengawasi pemakaian ponsel.
    3. Televisi:
    • Mewaspadai muatan pornografi, kekerasan, dan tayangan mistis.
    • Memperhatikan batasan umur penonton pada film yang tengah ditayangkan.
    • Mengaktifkan penggunaan fasilitas Parental Lock pada TV kabel dan satelit.
    • Menghindari penempatan TV pribadi di dalam kamar.
    4. Komputer dan internet:
    • Mewaspadai muatan pornografi digital (online maupun offline).
    • Mewaspadai kekerasan pada game.
    • Cek history browser pada computer anak untuk melihat apa saja yang sudah dilihatnya.
    • Menggunakan program filtering dan Parental Control.
    • Meletakkan computer pada tempat yang dapat diawasi, hindari penempatan computer di dalam kamar.
    • Jika terpaksa meletakkan computer dalam kamar anak, jangan melengkapinya dengan fasilitas internet.
    1. Perbanyak buku yang bersifat edukatif di rumah.


    Disamping Teknologi informasi memiliki manfaat yang sangat banyak. Tapi, selain itu masih banyak kendala dalam penerapan aplikasi teknologi informasi itu sendiri. Diantaranya :
    • Kurangnya ketersediaan sumber daya manusia
    • Kurang siapnya proses transformasi teknologi
    • Belum memadainya infrastruktur telekomunikasi
    • Belum memadainya perangkat hukum yang mengaturnya
    • Memerlukan biaya yang cukup tinggi
    • Belum meratanya jaringan di seluruh Indonesia


    Pemecahan masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
    Seperti teknologi lain yang telah hadir ke muka bumi ini, TI juga hadir dengan dialektika. Selain membawa banyak potensi manfaat, kehadiran TI juga dapat membawa masalah. Khususnya Internet, penyebaran informasi yang tidak mungkin terkendalikan telah membuka akses terhadap informasi yang tidak bermanfaat dan merusak moral. Karenanya, penyiapan etika siswa juga perlu dilakukan. Etika yang terinternalinasi dalam jiwa siswa adalah firewall terkuat dalam menghadang serangan informasi yang tidak berguna.
    Masalah lain yang muncul terkait asimetri akses; akses yang tidak merata. Hal ini akan menjadikan kesenjangan digital (digital divide) semakin lebar antara siswa atau sekolah dengan dukungan sumberdaya yang kuat dengan siswa atau sekolah dengan sumberdaya yang terbatas. Ada sebuah Survei yang dilakukan di tiga kota/kabupaten di Propinsi DI Yogyakarta terhadap 298 siswa dari 6 buah SMU yang berbeda menunjukkan bahwa akses terhadap komputer dan Internet di daerah kota Yogyakarta jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah pinggiran (Kabupaten Bantul dan Gunungkidul). Jika hanya sekolah swasta yang dianalisis, kesenjangan ini menjadi sangat tinggi. Akses siswa SMU swasta di Kota Yogyakarta terhadap komputer dan Internet secara signifikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMU swasta di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Minimal, hal ini memberikan sinyal adanya kesenjangan digital antar kelompok dalam masyarakat, baik dikategorikan menurut lokasi geografis maupun tingkat ekonomi.
    Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 90% SMU dan 95% SMK telah memiliki komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10% SMK yang telah terhubungan dengan Internet. Di tingkat perguruan tinggi, data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa kesadaran dalam pemanfaatan TI dalam proses pembelajaran masih sangat rendah. Analisis terhadap proposal teaching grant, baru 29,69% yang memanfatkan media berbasis teknologi komputer. Ketersedian media berbasis teknologi informasi juga masih terbatas. Hanya 15,54% perguruan tinggi negeri (PTN) dan 16,09% perguruan tinggi swasta (PTS) yang memiliki ketersediaan media berbasis teknologi informasi. Sekitar 16,65% mahasiswa dan 14,59% dosen yang mempunyai akses terhadap teknologi informasi. Hasil survei yang melihat pemanfaatan TI pada tahun 2004 menunjukkan bahwa baru 17,01% PTN, 15,44% PTS, 9,65% dosen, dan 16,17% mahasiswa yang memanfaatkan TI dengan baik. Secara keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa adopsi TI dalam dunia pendidikan di Indonesia masih rendah.

    REFERENSI

    Fairus N. H. 2007. Terampil menggunakan TIK untuk SMP kelas VII. Bekasi: Ganeca-exact.
    Jogiyanto, H. 1999. Pengenalan Komputer. Yogyakarta: penerbit Andi
    Miarso, Yusufhadi, 2005, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Kencana, Jakarta
    Moerwanto, F.B, 2002, Mengenali Arti dan Manfaat Telematika, Jakarta
  • Format DBT bahan tanam dan media tanam

    Date: 2012.05.14 | Category: info | Response: 0
    Format laporan praktikum DBT
    Materi Media tanam dan bahan tanam
    1. Pendahuluan
    1.1 Latar belakang
    1.2 Tujuan
    2. Tinjauan Pustaka
    2.1 pengertian media tanam dan bahan tanam
    2.2 macam-macam media tanam nontanah dan sifatnya (plus gambar literature)
    2.3 fungsi media tanam
    2.4 pengertian perkecambahan dan proses kimia pemecahan dormansi biji.
    2.5 Maca-macam tipe perkecambahan
    2.6 Perbedaan biji, benih dan bibit.
    2.7 Pengertian perbanyakan generative dan vegetative.
    2.8 Macam-macam perkembangbiakan vegetative (plus gambar literature)
    2.9 Keuntungan dan kerugian perbanyakan vegetative.
    2.10 Faktor-faktor yang berpengaruh pada perbanyakan vegetative.
    3. Hasil dan pembahasan
    3.1 tabel dan hasil pengamatan (plus grafik(sesuai parameter pengamatan) + foto hasil pengamatan)
    3.2 presentase keberhasilan perbanyakan.
    3.3 Pembahasan
    3.3.1 Presentase keberhasilan perbanyakan
    3.3.2 Saat tumbuh tunas/saat perkecambahan
    3.3.3 Tinggii tanaman/panjang tanaman
    3.3.4 Jumlah daun
    3.3.5 Perbandingan perlakuan semua media tanam pada komoditas yang sama.
    4. Penutup
    4.1 kesimpulan
    4.2 Saran dan kritik
    Daftar Pustaka

    NB:1. laporan dibuat secara individu, ditulis tangan dikertas A4 dengan menggunakan tinta warna biru.
    2. pengumpulan laporan paling lambat tanggal 3 mei 2012 diasisten masing-masing.

  • Hello world!

    Date: 2012.05.09 | Category: Uncategorized | Response: 1
    Selamat datang di Student Blogs. Ini adalah posting pertamaku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar